10th Spiral: Primordial Beats



Ketika aku mengendarai motorku menyusuri sudut-sudut kota Jakarta, aku menyadari kalau tidak banyak orang yang mengingat kalau kota ini sudah sangat tua. Maklum saja, kemegahan gedung-gedung pencakar langit, barisan kendaraan bermotor di jalanan, serta semua ingar-bingar kehidupan modern telah menutupi usianya yang sesungguhnya. Laju kehidupan yang begitu cepat dan tak kenal ampun juga membuat orang jarang berhenti dan memikirkan masa lalu ibukota Indonesia ini.
Biarpun begitu, tapi setidaknya kota yang menjadi ibukota negara Indonesia ini sekarang sudah berusia lebih dari empat ratus delapan puluh tahun. Usia yang sangat tua bagi ukuran manusia, tapi masih begitu muda bagi kota ini. Hanya saja, terkadang aku merasa kalau itu bukan usianya yang sesungguhnya. Kota ini, bukan, seluruh wilayah ini jauh, jauh lebih tua dari seluruh peradaban manusia.
Sayang tidak banyak yang menyadari soal itu.
Ah, tapi itu tidak penting sekarang. Soalnya yang penting adalah setiap kali kota ini merayakan ulang tahunnya, selalu ada kemeriahan yang berbeda dari biasanya. Berbagai acara menarik diadakan bergantian selama satu bulan ini, mulai dari pagelaran seni, pentas artis terkenal, bazar besar, dan berbagai acara meriah lainnya.
Tapi tahun ini agak berbeda, pemerintah kota menyatakan akan mengadakan pawai pada hari kelahiran kota Jakarta, yang jatuh pada tanggal 22 Juni. Dari selebaran yang beredar, pawai itu akan dimeriahkan dengan panggung berjalan dan kendaraan hias.
Yang jelas, acara pawai itu pasti menarik sekali untuk disaksikan. Soalnya jarang-jarang ada acara semacam ini di kota Jakarta. Iring-iringan kendaraan yang dihias dengan berbagai ornamen unik, lampu-lampu berwarna-warni, dan tentu juga atraksi lain pastinya tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Itu sebabnya aku sekarang berkendara melintasi jalanan yang padat kendaraan menuju pusat kota Jakarta. Walaupun harusnya pada jam-jam ini aku sudah mengendarai partner tuaku kembali ke rumah, tapi hari ini berbeda. Demi menyaksikan pawai –yang digaungkan sebagai pawai terheboh se-Asia Tenggara itu– aku sampai bersedia bermacet-macet ria di waktu rush-hour kedua ini.
Sialnya terlalu banyak warga yang juga antusias untuk menyaksikan acara pawai itu, sehingga jalanan yang biasanya macet, sekarang jadi luar biasa macet. Soalnya aku sudah duduk diam di atas motorku selama kurang lebih lima belas menit, tanpa bergerak sama sekali. Kalau dari perhitunganku, rasanya aku tidak akan bergerak banyak selama satu-dua jam ke depan.
Itu kalau aku pengendara motor biasa.
Sebagai kurir, aku sudah terbiasa mengatasi kemacetan yang menggila seperti ini, dan kebetulan hari ini aku terjebak kemacetan di jalanan yang sudah sangat akrab denganku. Sehingga tidak lama kemudian aku sudah melaju lagi menyusuri lorong dan gang-gang tikus yang tersebar bagai labirin di sudut dan sela-sela kota Jakarta. Salah satu keuntungan mengendarai motor kecil seperti partner tuaku ini adalah kemampuannya menyusup ke jalan-jalan kecil untuk menghindari kemacetan parah di jalan utama.
Yah ... walau kuakui kadang itu juga tidak selalu berhasil. Soalnya kadang aku benar-benar terjebak di tengah daerah yang tidak memiliki jalan pintas sama sekali. Kalau sudah begitu sih tidak ada jalan lain kecuali bersabar menghadapi kemacetan yang semakin parah setiap tahunnya ini.
Tapi itu cerita lain.
Pokoknya sekarang aku sudah terbebas dari kemacetan dan dari perhitunganku, aku akan sampai di Kota Tua dalam waktu kurang dari setengah jam saja. Tepat sebelum pawai dimulai.
Sesuai perhitunganku, aku sudah berhasil mencapai kawasan kota Jakarta yang dipenuhi oleh bangunan kuno dari jaman kolonial Belanda itu. Sesuai dugaanku juga, tempat itu sudah dipenuhi oleh warga yang juga ingin menyaksikan keberangkatan arak-arakan pawai yang titik mulanya ada di alun-alun Kota Tua. Ratusan –atau mungkin ribuan warga– sudah berkumpul berdesakan dan berusaha untuk mendapatkan tempat terbaik untuk menyaksikan pawai.
Sialnya aku terlambat dan yang bisa kulihat di depanku adalah dinding manusia yang berlapis-lapis. Aku sama sekali tidak bisa melihat jalanan di depan, apalagi iring-iringan pawai yang sepertinya mulai bergerak. Hanya sesekali aku melihat melalui celah dinding manusia di depanku dan melihat berbagai kendaraan yang dihias dengan meriah.
Suara musik yang nyaring, lampu-lampu yang bersinar kelap-kelip, serta sorak-sorai warga tiba-tiba saja mengiringi pergerakan iring-iringan pawai ulang tahun kota Jakarta. Sayangnya aku hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat dengan jelas.
“Sial, kalau begini sih ngapain aku tadi capek-capek datang ke sini?”  
Aku menggerutu sambil melangkah mundur, bersiap untuk pulang ke rumah dengan perasaan kecewa.
Tapi kemudian aku mendengar suara-suara itu.
Suara dentam gendang.
Suara gemerencing tamborin.
Suara gesekan biola bernada tinggi.
Suara berat Tuba yang menggetarkan dada
Suara denting gamelan yang bening dan jernih.
Ketika mendengarkan suara-suara bernada khas itu, aku langsung mengenali itu sebagai alunan musik khas Betawi. Meskipun kombinasi alat musik yang dimainkan terdengar janggal, namun alunan nadanya begitu khas sehingga aku tidak mungkin salah mengenali jenis musik yang sedang dimainkan itu.
Anehnya, berbeda dengan suara-suara dari panggung bergerak di pawai meriah yang menggelegar nyaris memekakkan telinga, suara-suara yang kudengar itu jauh lebih halus, lembut, jernih, dan murni. Entah bagaimana caranya, suara-suara itu berhasil mengalahkan suara ingar-bingar dari pawai di jalanan.
Karena penasaran, aku pun langsung menutup mata dan mendengarkan dengan seksama. Untungnya suara musik Betawi tadi masih terdengar cukup jelas dan aku tahu dari mana asalnya. Tanpa memperdulikan pawai yang masih terus bergerak dengan iringan kemeriahannya, aku menghidupkan mesin motor tuaku, kemudian melaju ke arah datangnya suara musik yang kudengar.
Untungnya karena keramaian sedang benar-benar terpusat di kawasan Kota Tua dan jalan Raden Saleh yang dijadikan rute utama pawai, jalanan lain ke arah utara kota Jakarta jadi benar-benar sepi. Sama sekali tidak ada kemacetan atau antrian kendaraan saat aku melintasi jalanan berliku di sekitar Kota Tua.
Walaupun kalau jalanan sepi begini suasananya jadi menakutkan, tapi untuk saat ini aku tidak terlalu peduli dan bahkan bersyukur. Soalnya aku tidak perlu berhadapan dengan kepadatan yang sehari-hari menyapaku di tengah kota Jakarta. Berkat itu, tidak butuh waktu lama bagiku untuk bisa menemukan sumber suara orkes tradisional yang kudengar tadi.
Hanya saja asal datangnya suara sama sekali tidak kuperkirakan sebelumnya.

Di hadapanku saat ini, berdiri serombongan orang-orang dengan pakaian khas Betawi dan memanggul berbagai macam instrumen musik. Pakaian mereka terlihat ganjil. Para prianya memang mengenakan baju khas Betawi, lengkap dengan sarung, sabuk besar, dan peci. Sedangkan yang wanita mengenakan pakaian warna-warni, lengkap dengan kebaya, selendang, serta semacam mahkota di kepala masing-masing. Selain itu, ada juga orang-orang yang terlihat membawa berbagai macam alat musik, mulai dari kendang, gamelan, semacam biola, kecrekan, simbal, dan tuba besar yang dililit ke tubuh pemainnya.
Dengan segera aku menyadari mereka kemungkinan sedang melakukan semacam latihan tari tradisional. Soalnya di tengah lapangan yang diapit gedung-gedung bergaya kolonial ini hanya ada kelompok berkostum itu saja. Sama sekali tidak terlihat ada penonton di sekitar tempat mereka mengadakan pertunjukan.
Karena tidak ingin mengganggu mereka, aku menghentikan motorku agak jauh dari tempat mereka melakukan pentas, kemudian berjalan menghampiri kelompok penari tradisional itu. Sepertinya mereka akhirnya menyadari kedatanganku, soalnya mereka tiba-tiba saja menghentikan alunan musik dan tariannya.
Kemudian mereka menoleh ke arahku.
Seketika itu juga jantungku langsung berdebar kencang.
Wajah semua orang di kelompok pertunjukan tradisional itu sepenuhnya tersembunyi di balik topeng putih dan merah khas topeng Betawi.
“Eeh ... maaf mengganggu latihannya.”
Aku langsung meminta maaf sambil menelan ludah. Meskipun aku tidak bisa melihat sorot mata di balik topeng-topeng kayu itu, tapi aku tahu orang-orang di hadapanku itu sedang melotot ke arahku. Mudah-mudahan saja kedatanganku tidak mengganggu latihan mereka.
Kemudian aku melihat salah seorang pria bertopeng yang mengenakan baju putih dan sarung kotak-kotak hijau berjalan menghampiriku. Topengnya yang berwarna merah dengan mata melotot berwarna kuning terlihat mengerikan. Tanpa sadar aku melangkah mundur karena takut.
“Mau ngikut liat tari topeng kite-kite, bang?”
Pria itu bertanya padaku dengan suara dalam dan berat.
“Apa boleh?” tanyaku.
Pria itu mengangguk.
“Jelas boleh~!” ujarnya, dia lalu menunjuk ke arah sudut lapangan. “Abang duduk di sebelah sono ye.”
Aku berjalan ke arah tempat yang dia tunjuk, tepatnya ke dekat tumpukan sesajen yang sepertinya sengaja diletakkan di situ agar tidak mengganggu jalannya pertunjukkan. Sejenak aku mengamati berbagai benda yang digunakan sebagai sesajen itu. Setidaknya aku melihat ada rujak tujuh macam, cerutu, beberapa butir telur, ayam panggang, beras, kelapa muda, nasi, jengkol pedas, dan setidaknya dua botol sirup.
“Nyok dimulai!”
Aku mendengar suara aba-aba dari pria bertopeng merah yang menyambutku tadi. Seiring dengan ucapannya, para pemusik langsung memainkan musiknya. Seketika itu juga suara alunan musik yang meriah terdengar bergema di sekeliling lapangan yang diapit gedung-gedung tinggi ini. Suara gesekan biola yang nyaring dan melengking, diimbangi oleh suara tuba yang berat dan dalam, kemudian dilembutkan oleh suara dengung gamelan yang jernih. Sementara itu alunan pukulan gendang dan kecrekan menyuarakan ritme kuno yang mengundang gerakan kepala atau jemari tangan.
Kalau boleh jujur, aku jarang sekali mendengarkan musik tradisional seperti ini, kecuali pada saat menghadiri acara resepsi pernikahan. Tapi itu pun lebih sering melalui rekaman digital, bukan secara langsung seperti ini.
Harus diakui, menyaksikan pertunjukan musik Betawi secara langsung jelas terasa bedanya. Rasanya lebih hidup. Alunan nada dan gerakan tubuh para pemusiknya seolah melebur menjadi satu dalam sebuah harmoni yang membius. Ritme indah yang dibalut oleh suara-suara alat musik pun seakan menjadi satu dengan kegelapan malam yang menyelimuti kota Jakarta.
Seolah menjawab panggilan musik yang dimainkan, para pria dan wanita bertopeng di depanku mulai melangkah ke tengah lapangan. Seorang penari wanita yang mengenakan pakaian paling mencolok di antara mereka lalu meletakkan sebuah tungku tanah liat kecil, kemudian membakar isinya.
Aroma khas kemenyan yang kental dan kuat langsung memenuhi udara di sekitar lapangan. Bersamaan dengan itu, sang penari wanita lalu mengangkat kedua tangannya ke samping. Tidak lama kemudian dia mulai menyanyikan empat baris lirik dengan suaranya yang jernih dan nyaring.
Ailo, jipati burung jiwana, sayang disayang,
Aiih, ada sepasang di kembang lilin
Ailo, jantung hati ada dimana,
Aiih, panas kenceng jalan keliling
Seiring dengan lagu yang dinyanyikan sang penari wanita, anggota yang lainnya pun mulai menari. Dengan anggun, para penari bergerak menyebar ke sekitar lapangan dan menari mengikuti irama musik indah yang mengiringi pertunjukan.
Sesekali mereka terdengar berdialog dalam bahasa Betawi asli, yang sejujurnya agak sulit kumengerti.
Kemudian terdengar gelak tawa para penonton.
Sesekali para penari pria bergerak mengitari penari wanita dengan gerakan lembut dan gemulai, yang disambut dengan gerak kaku dan tegas para penari wanita.
Kemudian terdengar decak kagum para penonton.
Sesekali semua penari berpacu menari dengan gerak akrobatis mengitari lapangan tempat mereka melakukan pertunjukkan.
Kemudian terdengar suara tepuk tangan para penonton.
Mulanya musik dan tari-tarian yang dipertunjukkan terkesan modern, dengan ritme kompleks dan cepat yang diselingi jeda alunan lambat yang lembut. Namun seiring berjalannya waktu pertunjukan, musik yang bergaung di telingaku terasa semakin tua, semakin kuno. Melodinya menjadi sederhana, ringkas, padat, namun begitu murni.
Semakin lama, aku seolah tidak lagi mendengar irama musik ini dengan telingaku. Alunan musik dan ritme indah itu terdengar begitu jernih dalam benakku. Selain itu ada sesuatu yang bergetar dalam jiwaku ketika mendengarkan musik dan melihat gerak tubuh para penari di depanku ini.
Sesuatu yang terasa jauh dari masa lalu, dari masa bahkan sebelum aku hadir di dunia ini.
Begitu tua.
Begitu murni.
Begitu kuat!
Begitu perkasa!
Melodi kuno.
Ritme dasar.
Tanah.
Laut.
BUMI!
Sebelum aku sepenuhnya sadar, tahu-tahu aku sudah ikut menari bersama para penari. Tapi aku tidak sendirian, para penonton pun juga ikut menari di tengah lapangan. Bagaikan kesurupan, kami semua menari dalam irama berbeda, namun semuanya terbalut dalam satu kesatuan.
Raksasa bertaring, manusia cebol, kepala tanpa tubuh, wanita bersayap, babi yang berdiri dengan dua kaki, kambing berkepala manusia, manusia kucing, pria bertanduk, monyet raksasa, semuanya menari bersama.
Semuanya menari dalam gelap malam.
Semuanya menari mengikuti irama alam.
Dentam genderang.
Hentakan kaki.
Tepukan tangan.
Taring berkilau.
Cakar terhunus.
Tanduk berkilat.
Ekor berkelebat.
Sayap terkembang.
Mata menajam.
Nafas memburu.
Jantung berdetak.
Deru angin.
Debur ombak.
Gemuruh petir.
Derak bebatuan.
Tua! Begitu tua! Ini irama murni yang jauh lebih tua dari apapun juga. Lebih tua dari peradaban manusia. Lebih tua dari penghuni sebelumnya. Lebih tua dari dentum kehidupan pertama.
Ini irama awal dunia!
Ritme dasar yang mendahului semua yang pernah merangkak di atasnya. Ini melodi jutaan tahun, tidak, miliaran tahun yang dipadatkan menjadi satu. Irama yang lamanya melampaui usia semua makhluk dunia fana.
Inilah irama bumi!
Irama makhluk yang yang begitu sabar, begitu kuat, begitu tua.
Semakin kuat, semakin kuat!
Semakin dalam, semakin dalam!
Dan aku pun hilang ditelan irama murni sang Pertiwi.

****

Kalau boleh jujur, aku sebenarnya tidak begitu ingat detail kejadian waktu itu. Semuanya tetap saja samar-samar dalam ingatanku, tidak peduli sekuat apapun aku berusaha untuk mengingat detailnya. Aku bahkan tidak yakin kalau pertemuanku dengan kelompok penari topeng Betawi waktu itu benar-benar nyata. Soalnya nyaris setengah dari peristiwa itu terasa bagaikan mimpi, dan ini tidak biasanya. Biasanya aku selalu tahu kalau aku sedang bermimpi atau aku benar-benar sedang mengalami peristiwa yang tidak masuk di akal. Pokoknya yang jelas, tahu-tahu aku dibangunkan oleh seorang satpam yang sedang berpatroli di sekitar Pantai Karnaval di kawasan Ancol.
Aku sendiri tidak ingat bagaimana aku bisa sampai di pinggir laut seperti itu.
Yang jelas menurut satpam yang menemukanku waktu itu, aku katanya sedang tidur telentang di atas pasir pantai. Katanya dia nyaris mengira aku korban tenggelam yang terdampar, soalnya wajahku waktu itu begitu pucat, persis seperti orang mati. Terlebih lagi, katanya waktu itu aku bahkan sama sekali tidak bernafas.
Untung saja satpam itu tidak langsung memanggil ambulans, kalau tidak urusannya bisa panjang nanti. Pokoknya tidak lama setelah dia memeriksa kondisi tubuhku, aku tiba-tiba terbangun, dan nyaris membuat satpam itu sakit jantung karena kaget. Wajar saja sih, kalau ada orang yang terkapar seperti mayat tiba tiba saja bangun, siapa pun yang kebetulan sedang ada di dekatnya pasti akan kaget setengah mati.
Mau tahu sesuatu yang tidak kalah mengejutkannya?
Ternyata aku sudah menghilang nyaris selama satu minggu sejak malam Jum’at, malam ketika aku bertemu dengan para penari bertopeng waktu itu. Intinya aku juga sudah membuat Irvan khawatir setengah mati karena aku mendadak tidak masuk kantor. Dia semakin ketakutan ketika mendapati rumahku kosong dan tidak ada tanda-tanda kehidupan –tidak ada manusia maksudnya, soalnya di rumahku masih ada seekor kucing dan seekor ikan peliharaanku–. Karena itu wajar kalau dia sampai melapor ke polisi. Untungnya dia belum memberikan kabar hilangnya diriku pada kedua orang tuaku di kampung, soalnya bisa repot sekali urusannya.
“Lain kali kalau kamu mau menghilang begitu, bilang-bilang dong.” Irvan protes padaku sambil mengelus kepala Nosferatu. Kucing itu membalas elusannya dengan dengkuran nyaman. “Kan kalau begitu, aku juga jadi tidak repot.”
Aku melotot ke arah teman kerjaku itu.
Mana kutahu kalau waktu itu aku bakalan menghilang sampai seminggu!
“Maaf deh,” ujarku sambil menebar makanan ikan ke dalam akuarium. Ikan hitam peliharaanku menatap lurus ke mataku selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia mulai menyambar makanannya.
“Hei, aku tahu kamu ini aneh, tapi belakangan ini rasanya kamu semakin aneh deh.” Irfan kembali berkomentar. “Perasaan, semakin lama kamu semakin dalam terlibat dengan berbagai pengalaman gaib deh. Yang bulan lalu itu yang paling parah, pakai hilang seminggu segala. Aku takut yang berikutnya kamu enggak balik lagi.”
Aku menatap ke arah Irfan sejenak.
Yah, wajar sih kalau dia khawatir, tapi aku juga bisa apa? Kan (hampir) semua kejadian misterius yang pernah kualami selama ini terjadi begitu saja, tanpa bisa kuduga-duga, dan tanpa bisa kuhindari. Tapi harus aku akui, perkataan Irvan ada benar juga. Bagaikan terseret pusaran yang tidak terlihat, aku seperti masuk semakin dalam ke dunia yang biasanya tidak nampak di permukaan kota ini.
Takut?
Tentu saja.
Tapi di sisi lain aku jadi merasa ada sesuatu yang spesial dari diriku, sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Aku jadi bisa melihat kota ini dari sisi yang berbeda, aku bisa menemukan sudut-sudut yang terlupakan, aku juga bisa bertemu dengan mereka-mereka yang biasanya selalu tersembunyi dari kehidupan manusia.
Setidaknya untuk yang itu, aku harus bersyukur.
“Irvan,” ujarku. Dia pun kembali menatapku.
“Apa?” tanyanya, masih sambil mengelus kepala Nosferatu.
“Kalau lain kali aku tidak balik lagi, tolong rawat Nos dan ikanku ya,” ujarku sambil nyengir lebar. “Oke?”
Kali ini aku berani sumpah kalau kilatan marah di mata Irvan sudah lebih dari cukup untuk menyalakan api di sebuah lilin.

****

End of 10th Spiral
Move on to the next story

Comments