7th Spiral: Kingdom of Cats



Konon katanya kucing itu kalau hidup terlalu lama, dia akan berubah jadi siluman.
Yah ... setidaknya itu kata orang Jepang sih. Sejujurnya aku tidak pernah ambil pusing soal itu. Setidaknya tidak sampai aku benar-benar mengetahui kalau ungkapan itu bukan cuma omong kosong belaka.
Pagi itu seperti biasanya aku pergi ke kantor, kemudian meluncur kembali ke jalanan padat kota Jakarta untuk mengantar paket-paket klienku. Setelah berkutat dengan kegilaan dan kengerian lalu lintas kota, sorenya aku pulang ke rumah. Tapi tidak seperti biasanya, sewaktu aku melintasi jalan yang biasa kulalui, aku menyadari ada sesuatu yang lain.
Tepat di tengah jalan, aku melihat seekor kucing tergolek lemas. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya dia baru saja ditabrak oleh kendaraan yang melintas di jalanan. Dari kondisinya, lukanya sih tidak terlihat parah, tapi kucing itu tidak bisa bergerak. Entah karena syok, atau memang ada luka dalam yang tidak terlihat dari luar.
Yak. Aku tahu tindakanku bisa dengan mudah membuatku jadi perkedel, tapi aku tidak bisa membiarkan kucing itu mati begitu saja. Jadi aku melakukan hal yang bisa dibilang konyol oleh sebagian besar orang: aku berhenti di tengah jalan, turun dari motor, mengangkat tubuh lemas sang kucing, kemudian kembali ke atas motorku.
Aksiku tentu saja mengundang serentetan sumpah serapah disertai suara klakson yang bersahut-sahutan dari kendaraan lain yang terpaksa menghindar, atau bahkan berhenti di tengah jalan akibat ulahku. Tapi aku tidak peduli. Pokoknya aku tidak mau membiarkan kucing itu terbaring di tengah jalan menunggu ajalnya.
Tentu saja aku tidak lalu meninggalkan kucing itu untuk pulih dengan sendirinya, aku membawanya ke dokter hewan terdekat yang kutahu. Untung saja luka kucing itu tidak parah, sehingga dia seharusnya akan segera pulih dengan perawatan yang tepat.
Setelah mendapat perawatan, aku membawa kucing malang itu pulang ke rumahku. Aku hanya berharap kalau kucing itu sudah sehat nanti, dia sanggup untuk pulang ke tempat tinggalnya. Bukannya aku tidak mau memeliharanya, tapi aku sudah punya peliharaan seekor ikan.
Ikan dan kucing kan bukan pasangan peliharaan yang tepat.
Tapi ternyata dugaanku salah.
Si kucing terlihat sama sekali tidak tertarik dengan ikan peliharaanku. Sesekali dia mendekat ke akuarium, tapi tidak pernah terlalu dekat sampai aku khawatir kucing itu bakal mencoba memakan ikan peliharaanku. Anehnya, kadang aku merasa kucing itu malah takut dengan ikanku, entah apa sebabnya.
Tidak terasa, tapi sudah hampir seminggu aku memelihara kucing itu.
Dari kondisi fisiknya, kurasa dia sudah cukup sehat untuk pergi. Aku tahu tindakanku tidak tepat, tapi pada akhirnya aku sengaja berhenti memberi makan kucing itu. Dengan begitu, aku berharap dia mengerti kalau tempat ini sudah tidak nyaman lagi baginya dan memutuskan untuk pergi.
Sayang sepertinya usahaku tidak berjalan dengan baik.
Dia memang pergi di malam hari, tapi di siang hari, kucing itu pasti kembali dan tidur di kursi teras rumahku. Aku selalu menemukan kucing belang hitam itu sedang tidur pulas saat aku pulang kerja. Dan setiap aku datang, kucing itu pasti terbangun dan mengeong pelan, seolah-olah dia ingin menyambut kedatanganku.
Apa boleh buat, pada akhirnya aku memutuskan untuk memelihara kucing itu, sampai dia memutuskan saat yang tepat untuk pergi. Toh, tidak ada salahnya juga. Selama aku merawatnya, kucing ini tidak pernah membuat masalah, bahkan menurutku, dia ini malah kelewat kalem untuk seekor kucing.
Terkadang, aku malah mengira kalau kucing ini bukan kucing biasa. Soalnya setiap kali aku menatap matanya, ada kilat kecerdasan di mata kucing itu.
Kilatan yang sama dengan yang kadang muncul di mata ikan peliharaanku.
Tapi ... yah ... pokoknya selama kucing ini tidak membuat onar, tidak ada salahnya aku tetap memeliharanya. 

****


Malam itu seperti biasanya, aku pulang ke rumah mengendarai partner tuaku. Tapi karena aku ingin mampir untuk membeli makan malam, aku mengambil jalur yang tidak biasa kulalui. Pasalnya warung mi Jawa favoritku berada agak jauh di dalam sebuah kompleks perumahan, yang lokasinya berlainan arah dengan arah rumahku. Tapi walaupun aku harus menyimpang arah cukup jauh, tapi usahaku tentu saja tidak percuma. Rasa nikmat mi kuah, yang dimasak dengan cara tradisional menggunakan kompor arang itu, benar-benar sepadan dengan jalur mirip labirin yang harus kutempuh.
Walaupun perlu waktu agak lama untuk menunggu pesananku datang, akhirnya aku berhasil mendapatkan menu makan malam yang lezat itu. Tentu saja aku tidak perlu menunggu lama-lama untuk segera menyantapnya. Dalam waktu singkat, makanan hangat yang beraroma nikmat itu pun sudah habis kusantap. Belum puas, aku bahkan memesan satu bungkus mi goreng untuk kumakan besok pagi sebagai sarapan pagi.
Intinya, aku pulang dari warung makan itu dengan perut kenyang, dan dengan bekal makanan lezat yang siap disantap besok pagi sebelum pergi kerja.
Sambil bersenandung ringan, aku mengendarai motorku melintasi jalanan kompleks yang rumit dan agak mirip labirin. Tentu saja aku melaju dengan pelan, soalnya berbahaya sekali kalau aku ngebut di tempat seperti ini. Berhubung aku sengaja berkendara dengan perlahan, aku bisa sambil mengamati kondisi sekitarku.
Tidak seperti waktu siang hari, kalau malam tiba, tempat ini jadi terasa lain. Kalau siang, aku hampir pasti akan bertemu dengan orang-orang, terutama ibu-ibu rumah tangga, yang sedang menjalankan aktivitasnya. Tapi di malam hari, apalagi kalau sudah agak larut malam begini, wajah jalanan kompleks ini seolah berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang biasanya tidak tampak di permukaan, tapi muncul ketika orang-orang sedang menikmati istirahatnya setelah seharian bekerja.
Dunia malam.
Dunia milik mereka yang menyukai bayang-bayang dan kegelapan.
Aku tahu aku sudah bukan anak kecil lagi, tapi kalau boleh jujur aku selalu merasa tegang kalau harus berkeliaran malam hari seperti ini. Bahkan walaupun aku sedang berada di tengah kompleks pemukiman seperti ini.
Sinar lampu remang-remang, sudut gelap persimpangan, dan suara-suara samar yang sesekali terdengar membuat suasana jadi semakin mencekam. Kadang aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya mengenai apa yang tersembunyi di balik bayang-bayang di depan sana.
Yah, sebenarnya sih aku tidak takut dengan yang namanya hantu, setan, atau jin. Aku lebih takut dengan manusia, terutama para penjahat seperti begal yang bisa tiba-tiba muncul dan mencelakakanku. Mereka lebih berbahaya dari sekedar makhluk dunia lain yang kadang muncul untuk membuat kaget.
“Huh? Bukannya itu?”
Aku mendadak menghentikan laju motorku ketika melihat sosok yang jadi akrab dalam beberapa minggu terakhir ini. Sosok itu adalah sosok seekor kucing belang putih-hitam, dengan pola spiral putih di punggungnya. Begitu melihat itu, aku yakin kalau aku melihat sosok Nosferatu, kucing liar yang waktu itu kuselamatkan setelah terserempet kendaraan, dan akhirnya kujadikan peliharaan.
Ngomong-ngomong, yang memberi nama Nosferatu itu bukan aku, melainkan temanku, Irvan. Waktu dia datang berkunjung ke rumahku, dia seenaknya memberi nama aneh itu pada si kucing. Anehnya, setelah itu kucing peliharaanku selalu memberi respons setiap kali dipanggil dengan nama Nosferatu, dan cuek kalau dipanggil dengan nama lainnya.
Ah, satu lagi, kata Irvan, nama aneh itu dia dapat dari novel yang akhir-akhir ini menjadi favoritnya. Baru belakangan aku tahu kalau Nosferatu itu nama monster penghisap darah yang menyeramkan. Kalau saja aku tahu lebih awal, aku tidak akan membiarkan Irvan menamai kucingku dengan nama seperti itu.
Tapi intinya sekarang, aku baru saja melihat Nosferatu melenggang masuk ke arah sebuah gang sempit di antara ruko-ruko yang baru kulewati. Aku tidak tahu kenapa, tapi tiba-tiba saja aku penasaran ke mana kucing itu pergi.
Aku tahu. Aku tahu. Aku ini memang aneh.
Tidak usah diingatkan, soalnya Irvan sudah berkali-kali mengatakan itu kepadaku. Tapi rasa penasaran kan tidak boleh dipelihara. Sejujurnya sih ada pepatah mengatakan ‘curiousity killed the cat’, atau ‘rasa penasaran membunuh sang kucing’. Tapi berhubung aku bukan kucing, tidak salahnya kan aku menuruti rasa penasaranku?
Jadi aku memutuskan untuk melangkah mengikuti kucing peliharaanku itu, ke mana pun dia pergi. Tentu saja setelah memastikan kalau motorku sudah terkunci dengan aman. Soalnya biarpun partner ku itu motor tua, aku akan sedih sekali kalau ada yang mencurinya. Ada terlalu banyak kenangan manis, dan pahit, bersamanya.
Begitu memastikan semuanya aman, aku berjalan mengendap-endap seperti seekor kucing melintasi gang sempit dan nyaris gelap total. Walau aku tidak bisa melihat dengan jelas, tapi sepertinya gang ini biasanya dijadikan jalur masuk para pegawai ruko. Ada beberapa pintu yang berlabel nama toko tertentu, juga ada beberapa tumpukan barang yang ditutupi terpal. Beberapa barang rongsokan berukuran besar, seperti mesin cuci bekas, kulkas, dan unit pendingin udara terlihat ditata dengan rapi di pojok-pojok gang. Selain itu aku juga menemukan beberapa sepeda motor, dan sepeda, yang diparkir dan diamankan dengan kunci atau rantai. 
Untungnya walau tempat ini gelap, tapi setidaknya gang ini tidak berbau busuk seperti yang kukira. Meskipun ada beberapa tempat sampah besar di sepanjang jalan yang kulalui, tidak ada bau busuk yang menguar menusuk hidung. Mungkin isi kotak-kotak sampah itu sudah dikosongkan, atau memang tidak ada yang membuang benda berbau, seperti sisa makanan, di tempat sampah gang ini. Selain itu, aku juga menyadari tidak ada sampah yang berserakan di jalan, atau di pojok-pojok gang ini.
Yah, untunglah orang-orang yang tinggal dan kerja di sini setidaknya tahu bagaimana cara menjaga kebersihan tempat mereka. Walau seharusnya mereka menambah jumlah lampu penerangan di sini, soalnya semakin lama, rasanya gang ini semakin gelap saja. Aku sampai harus menggunakan fungsi senter di ponselku agar tidak tersandung atau kehilangan jejak Nosferateu, yang anehnya, masih saja mengabaikanku yang mengikutinya dari belakang.
Sosok mungilnya yang melenggang santai, terlihat begitu alami di gang sempit dan gelap ini. Sebaliknya, aku malah terlihat amat sangat mencurigakan. Aku hanya berharap tidak ada yang menganggapku kelewat mencurigakan, soalnya bisa-bisa malam ini aku terpaksa tidur di kantor polisi.
Semoga saja tidak begitu.
Tapi setelah berjalan cukup lama, aku baru menyadari kalau ada yang aneh dengan tempat ini. Meskipun aku mencoba berjalan cukup cepat, Nos –nama panggilanku untuk Nosferatu– selalu ada jauh di depan sana. Selain itu, rasanya gang ini juga tidak ada ujungnya. Tiap kali aku mengikuti Nos belok ke persimpangan, aku selalu menemukan gang lain terbentang di hadapanku. Kegelapan pekat seolah menjadi tabir penghalang bagiku untuk melihat ujung dari gang tempatku berada sekarang.
Karena ragu, aku berhenti sejenak. Rasanya sudah cukup aku bertingkah seperti orang aneh yang mengikuti kucing peliharaannya malam-malam begini. Kurasa sudah saatnya aku pulang. Meskipun besok hari libur, tapi aku tetap harus bangun pagi untuk bersih-bersih rumah.
Sayangnya ketika aku berbalik, aku menyadari kalau aku tidak benar-benar ingat jalan pulang. Aneh memang. Padahal dengan kemampuanku mengingat jalan, harusnya aku ingat setiap belokan di setiap tikungan yang kulewati. Tapi perlahan-lahan aku menyadari kalau semuanya terlihat sama saja. Tiap kelokan, tiap tikungan, rasanya sama. Tidak ada penanda khusus yang bisa kujadikan sebagai patokan.
Menyadari kalau aku tidak bisa mundur lagi, aku menoleh ke arah Nos. Sialnya ... sosok kucing belang itu sudah tidak terlihat lagi di mana pun. Begitu menyadari hal itu, aku langsung tahu kalau aku dalam masalah besar.
Baiklah. Ini tidak bagus!
Tersesat malam-malam di gang ajaib yang berubah jadi labirin ini tidak akan berakhir dengan baik. Bukannya aku pernah mengalaminya, tapi aku sudah sering memikirkan hal-hal buruk kalau seandainya itu terjadi padaku. Selain itu, entah sudah berapa kali aku menonton film horor yang memunculkan situasi semacam ini. Masalahnya dari film-film yang pernah kulihat, orang yang berada pada posisiku sekarang ini biasanya berakhir di kamar mayat.
“Jangan berpikir yang macam-macam! Jalan saja!”
Aku menggelengkan kepala sambil menelan ludah, kemudian melangkahkan kakiku melintasi gang gelap yang menyapa di hadapanku. Karena gang ini begitu sepi, setiap langkah kakiku sekarang terdengar bergema begitu keras. Suara gemeresak kantong plastik bekal sarapan pagiku besok juga seolah-olah diperdengarkan melalui pengeras suara. Intinya, sekarang setiap gerakanku yang menimbulkan suara, seolah-olah sedang diperkuat oleh sesuatu.
Dan itu membuatku semakin ketakutan. Sekarang detak jantungku malah terdengar begitu nyaring dan bersahut-sahutan, seolah-olah ada ratusan jantung yang sedang berdetak bersamaan di sekitarku. Tidak hanya itu, sedari tadi aku merasa ada banyak pasang mata tidak terlihat yang mengawasi setiap gerak-gerikku. Meskipun aku tidak bisa melihat mereka, tapi aku merasakan tekanan pandangan menusuk di sekitarku. Gara-gara itu, aku jadi semakin ketakutan.
Oke ... tempat ini benar-benar mengerikan! Kalau aku tidak segera keluar dari tempat ini, bisa-bisa aku jadi gila!
Tanpa sadar, aku berlari kencang melintasi lorong gelap di depanku. Aku tidak lagi peduli apakah aku akan tersesat atau apakah aku akan keluar entah ke mana.
Satu-satunya hal yang kupikirkan saat ini adalah keluar dari tempat menakutkan ini dengan segera!
Entah berapa lama aku berlari, tapi gang gelap ini tidak sedikit pun berniat untuk melepaskan cengkeramannya. Pada akhirnya, aku kehabisan tenaga dan hanya bisa berdiri bersandar di dinding sambil terengah-engah.
Aku tidak lagi tahu di mana aku berada, soalnya pemandangan di sekelilingku terlihat sama saja ke mana pun aku pergi. Atau jangan-jangan … sebenarnya aku tidak benar-benar beranjak dari tempatku tadi, melainkan hanya berputar-putar tidak tentu arah.
Gawat!
Ini gawat!
Kalau terus begini ... bisa-bisa aku ...
“Meong~!”
Tiba-tiba aku mendengar suara akrab itu. Tanpa pikir panjang aku menoleh ke arah datangnya suara dan menemukan Nos sedang berdiri di tengah gang sambil menatapku dengan tatapan heran. Seolah-olah dia kaget ketika melihatku ada di tempat aneh seperti ini.
“Ha ... hai ...” sapaku, meski aku tahu Nos tidak mungkin membalas ucapanku. Tapi kalau melihat tatapan matanya, aku hampir yakin dia sebenarnya mengerti ucapanku, hanya tidak bisa membalasnya. Atau jangan-jangan sebenarnya dia bisa membalas perkataanku, tapi aku saja yang tidak paham bahasa kucing.
“Aku tadi mengikutimu dan tersesat. Apa kau tahu jalan pulang?”
Aku bicara lagi pada kucing belang itu sambil mengatur nafas. Jantungku masih berdetak kencang, setengah karena ketakutan, setengah karena kelelahan setelah berlari tidak tentu arah tadi.
Sejenak Nos diam, seolah-olah dia sedang memikirkan sesuatu. Aku sih tidak berharap dia akan membuka mulut dan tiba-tiba bicara dalam bahasa manusia. Yah, aku tidak akan kaget kalau dia melakukan itu. Soalnya ikan hitam peliharaanku kadang-kadang juga bicara padaku, walau lewat semacam telepati.
“Meong~!”
Ternyata Nos tidak bicara dalam bahasa manusia. Tapi sepertinya dia mengerti ucapanku, soalnya dia lalu berbalik dan mulai melangkah pelan ke arah persimpangan di depan. Tanpa buang waktu lagi, aku langsung mengikuti kucing itu.
Aku tidak mau tersesat lebih lama di tempat mengerikan ini!
Begitu aku berbelok ke persimpangan, tiba-tiba saja pemandangan sekitarku berubah drastis. Seolah-olah ada yang menyingkapkan tabir kegelapan di sekitarku, mendadak seluruh gang tempatku berada menjadi lebih terang.
Seketika itu juga aku bisa melihat apa yang sedari tadi mengawasiku.
Setidaknya ada seratus ekor kucing yang sedang bersantai dalam berbagai pose di berbagai tempat di sepanjang gang ini. Aneh tapi nyata, tadi aku sama sekali tidak melihat mereka, meskipun aku beberapa kali menyorotkan senter ponsel ku ke setiap sudut gang. Aku tidak ahli soal jenis-jenis kucing, tapi sepertinya ada puluhan jenis kucing dalam berbagai ukuran di gang ini. Entah sedang apa mereka, yang jelas tatapan mata mereka penuh selidik. Sama seperti Nos, ada kilat kecerdasan tidak wajar di wajah dan di balik bola mata mereka. Melihat itu, aku tahu kucing-kucing ini sama sekali bukan kucing biasa.
 “Meong~!”
Sekali lagi Nos mengeong dan aku pun memandang ke depan. Alih-alih jalan keluar, aku justru berhadapan dengan seekor kucing Anggora berbulu putih tebal yang sedang bergelung santai di ranjang kucing. Begitu aku mendekat, kucing itu langsung menegakkan telinganya dan menatap tajam ke arahku. Saking tajamnya, kalau tatapan matanya itu sebuah pedang, kepalaku pasti sudah tertembus dengan mudah.
Yang jelas, aku tahu kucing di depanku ini bukan kucing biasa. Tidak seperti kucing lain di sekitarnya, kucing yang satu ini punya dua ekor. Selain itu dari gayanya, dan dari sikap kucing lain di sekitarnya, aku bisa menebak kucing Anggora ini semacam pimpinan di sini.
Bos kucing mungkin?
“Eeh ... maaf karena aku masuk seenaknya. Tapi aku tadi iseng mengikuti Nos masuk ke gang ini dan tersesat. Eeh ...”
Selamat datang. Sudah lama sekali tidak ada manusia yang datang ke sini.
Suara itu datang menusuk langsung dari balik pikiranku. Tidak seperti yang pernah kualami dengan ikan peliharaanku, si kucing bicara tidak dengan suaranya sendiri. Seolah-olah akulah yang bicara dengan diriku sendiri dalam benakku. Rasanya aneh mendengar suaraku sendiri, ketika aku sepenuhnya sadar kalau yang bicara itu adalah orang lain.
Sulit dijelaskan, tapi pokoknya rasanya sangat tidak nyaman.
“Meong.”
Nos tiba-tiba menyahut, seolah-olah ingin menimpali ucapan si kucing anggota.
Oh. Jadi ini manusia yang menyelamatkanmu dulu ya?
Bersamaan dengan ucapannya, si kucing Anggora melompat turun dari ranjang empuknya dan melenggang anggun ke arahku. Selagi dia melakukan itu, tatapan matanya tidak pernah beranjak sedikit pun dari wajahku.
Kelihatan biasa saja. Aku tidak tahu apa yang istimewa dari manusia ini. Mungkin kalau aku cicipi sedikit aku akan tahu.
Aku langsung merinding mendengar ucapan kucing berekor dua itu. Soalnya dari nada suara yang terdengar dalam benakku, dia sepertinya benar-benar akan ‘mencicipiku’. Aku benar-benar tidak mau tahu bagaimana caranya dia akan melakukan itu.
“Meong!” sekali lagi Nos mengeong.
Oh. Berani juga kau bicara begitu pada Raja mu. Di mana rasa hormatmu padaku? Apa kau lupa ini wilayah kerajaanku?
“Meooong!” balas Nos lagi, kali ini dengan suara lebih nyaring.
Aku langsung menoleh ke arah Nos, yang kini menegakkan telinganya. Bulu tengkuknya juga terlihat berdiri, seolah-olah dia sedang bersiap-siap untuk berkelahi. Aku berharap dia tidak benar-benar melakukan itu, soalnya kalau yang kudengar itu benar, maka si kucing Anggora berekor dua ini adalah pimpinan di tempat ini.
Bukan cuma sekedar bos, tapi seekor Raja! Raja Kucing!
Yang jelas aku tidak mau membuat masalah dengan penguasa setempat.
Sudah cukup masalahku untuk malam hari ini, tidak perlu ditambah yang lainnya lagi!
“Eh, Yang Mulia, maafkan kucingku. Dia mungkin bersikap kurang sopan.” Tanpa pikir panjang aku melangkah di antara Nos dan sang Raja Kucing. “Bisakah kau memaafkan sikapnya?”
Sang Raja Kucing mendengus kesal. Tatapan matanya jelas menunjukkan kalau dia semakin jengkel dengan ulahku dan Nos. Aku tahu kalau aku tidak melakukan apapun, kucing itu mungkin akan berubah jadi monster dan memakan kami berdua. Soalnya ... yah ... dia kan kucing berekor dua. Siapa yang tahu wujud aslinya seperti apa!
“Aku tahu ini tidak seberapa, tapi apa anda mau menerima ini sebagai permintaan maaf?”
Aku buru-buru berjongkok dan meletakkan bungkusan mi goreng –yang hebatnya masih saja kubawa-bawa– ke hadapan sang Raja Kucing. Sekilas tatapan mata kucing Anggora ajaib itu teralih dari ku ke arah bungkusan makanan yang kubawa, tapi kemudian dia tersadar dan kembali menatapku.
Apa ini? Kau mau aku memaafkan kalian hanya dengan ini?! Kau pasti bercanda!
Nada suaranya meninggi dalam benakku. Seketika itu juga aku tahu kalau tindakanku barusan itu adalah kesalahan besar. Tapi nyaris di saat yang bersamaan dengan ucapan sang Raja Kucing, Nos mendesis dan menggeram. Kali ini postur tubuhnya sengaja dia lengkungkan agar terlihat lebih besar, bulu-bulu tengkuknya juga berdiri semua. Tidak hanya itu, Nos juga menunjukkan gigi taringnya yang tajam. Kuku-kukunya, yang biasanya tersembunyi di balik telapak kakinya yang empuk, kini dihunus keluar dan siap untuk digunakan.
Jelas itu pose khas seekor kucing yang siap untuk berkelahi.
“MEONG!” seru Nos sambil menggeram.
Selama beberapa detik berikutnya, suasananya jadi begitu tegang. Salah gerak sedikit saja, rasanya akan terjadi pertumpahan darah antara Nos, kucingku, dan sang Raja Kucing. Tanpa sadar aku menelan ludah karena tegang bercampur takut.
Tapi sedetik kemudian sang Raja tiba-tiba saja tertawa lepas. Suara tawanya bergema dalam kepalaku hingga aku bingung. Soalnya aku belum pernah mendengar diriku sendiri tertawa seperti itu, setidaknya tidak pernah dalam beberapa tahun terakhir ini.
Tidak bisa kupercaya! Sebegitu pentingkah manusia ini bagimu, sampai-sampai kau berani menantangku, Raja mu ini, untuk berkelahi?
Suara sang Raja sekali lagi bergema nyaring dalam benakku. Anehnya, aku malah jadi lebih rileks setelah mendengar tawanya. Ketegangan yang tadinya menyelimutiku, mendadak hilang terangkat begitu saja. Kemudian aku menyadari kalau sang Raja kucing sedang menatap mataku lagi. Kali ini tidak dengan tatapan tajam menusuk, tapi dengan tatapan lembut.
Pulanglah kalian berdua. Malam sudah semakin larut dan ini waktunya bagi makhluk siang seperti manusia ini untuk beristirahat.  
Sang Raja kucing bicara lagi dalam benakku. Dia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Nos, yang kini juga terlihat lebih rileks. Tapi tatapan mata kucingku itu masih terlihat waspada, seolah-olah dia masih mencurigai perubahan sikap sang Raja.
Aku mengakui keberanianmu, nak. Kalau umurmu panjang, mungkin kau bisa jadi pengganti ku suatu saat nanti. Kalau saat itu tiba, kuharap kau bisa jadi pelindung tempat ini.
Setelah itu sang Raja Kucing kembali menoleh ke arahku. Tatapan matanya masih terlihat lembut, tapi ada sedikit rona kesedihan di wajahnya.
Dan kau, manusia, umurmu memang pendek, jadi hiduplah dengan hati-hati ya.
Bersamaan dengan perkataannya, sang Raja kucing melenggang anggun melewatiku dan Nos. Kepergiannya segera diiringi oleh kepergian ratusan kucing yang sedari tadi mengamati gerak-gerik kami. Selagi mereka pergi, seekor kucing yang berbadan paling besar dan berekor empat, meraih bungkusan yang kutawarkan pada sang Raja tadi, kemudian bergabung dengan rombongan kucing lainnya.
Dalam waktu singkat, semua kucing yang tadi memenuhi hampir setiap sudut gang tempatku berdiri itu, kini sudah hilang tanpa jejak. Yang tertinggal hanyalah aku, yang masih berdiri terpaku seperti orang bodoh, dan Nos, kucing belang hitam peliharaanku.
Begitu menyadari kalau kami sudah lolos dari bahaya, aku akhirnya menghela nafas panjang. Kemudian aku menatap ke arah Nos yang kini sibuk menjilati cakarnya. Dia terlihat begitu santai sekarang.
Setelah menghela nafas panjang, aku berkata pada kucing berbulu hitam itu.
“Ayo pulang,” ujarku pada Nos
Nos pun menjawab dengan riang.    
“Meong~!”

****

Sejujurnya aku tidak begitu ingat bagaimana kami bisa keluar dari labirin gang waktu itu. Pokoknya setelah kesadaranku benar-benar pulih, aku tahu-tahu sudah di atas motorku dan Nos pun sudah bertengger di jok belakang.
Yah, pokoknya malam itu aku terpaksa mengendarai motor dengan Nos yang kusumpal masuk ke bagian depan jaketku. Soalnya tidak ada cara lain untuk membawa kucing itu pulang dengan aman sambil mengendarai motor. Tapi intinya kami akhirnya sampai dengan selamat di rumah.
Belakangan ketika aku menceritakan soal ini pada Irvan, seperti biasanya dia mempertanyakan tingkat kewarasanku. Itu seperti sebuah rutinitas yang tidak boleh terlewat setiap kali dia mendengar cerita aneh dari ku. Tapi seperti biasanya juga, dia akhirnya menutup mulut dan mendengarkan setiap detail ceritaku dengan seksama.
“Oh! Itu menarik sekali,” ujar Irvan sambil mengelus Nosferatu yang tidur di pangkuannya. “Kurasa kau entah bertemu Bakeneko, Nekomata, atau mungkin Cat Sith. Tapi berdasarkan ceritamu sih, mungkin itu Nekomata.”
“Neko ... apa?” tanyaku.
“Nekomata,” ulang Irvan. “Ne. Ko. Ma. Ta. Siluman kucing berekor dua dari Jepang.”
“Iya, aku dengar! Nekomata! Memangnya kenapa dengan itu?” balasku jengkel, terutama karena Irvan bertingkah seolah-olah dia sedang bicara dengan balita. Selain itu, aku juga kesal setiap kali Irvan mulai bicara soal hal-hal supranatural seperti itu. Belakangan dia memang tergila-gila dengan segala hal yang berbau gaib, legenda urban, creepypasta dan sejenisnya.
Yah ... setengah alasannya adalah gara-gara dia merasakan sendiri pengalaman aneh itu waktu mengantar barang bersamaku. Kami sempat tersasar di hutan penuh pohon buah yang sekarang jadi daerah Menteng.
Setelah pengalaman itu, Irvan jadi keranjingan berburu cerita dan pengetahuan terkait hal-hal supranatural. Kadang sikapnya itu membuatku kesal, terutama kalau dia mulai bercerita soal hal-hal yang seram.
“Konon katanya kalau kucing seperti Nosferatu ini hidup cukup lama, dia akan semakin bijak, semakin kuat, dan lama-kelamaan jadi semacam siluman kucing berekor dua. Persis seperti yang kau ceritakan tadi.” Irvan kembali bicara sambil nyengir lebar. Dia lalu mengacungkan telunjuk di depan wajahnya. “Mau tahu yang lebih menarik lagi?”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Katanya Nekomata itu sering muncul dekat-dekat dengan mayat atau orang yang sedang sekarat loh,” ujar Irvan, dengan wajah penuh senyuman lebar, yang membuatku semakin jengkel. Sebelum aku sempat berkomentar, dia kembali bicara. “Yah, tapi itu bukan berarti selalu begitu sih. Aku tidak tahu banyak soal yang namanya Nekomata, tapi dari yang pernah kudengar dan kubaca, mereka pemakan daging manusia. Kau beruntung tidak dimakan hidup-hidup waktu itu.”
Aku melotot ke arah Irvan, yang malah balas nyengir lebar ke arahku.
“Tidak masuk akal. Kalau memang itu Nekomata, kok bisa siluman kucing dari Jepang ada di kota ini?” balasku lagi.
Irvan mengangkat bahunya.
“Entah ya?” ujarnya mengakui, tapi dia lalu menjentikkan sebelah jarinya. “Tapi jangan lupa, walau cuma sebentar, kita kan pernah juga dijajah Jepang. Mungkin waktu itu si Nekomata menyusup di salah satu kapal yang datang ke Jakarta, lalu menetap di sini. Kemungkinan itu ada kan?”
Masuk akal. Walaupun tetap saja rasanya tidak masuk akal.
Tapi yang jelas, semalam aku dan kucingku, Nos, memang bertemu makhluk yang biasanya tidak pernah menampakkan wujudnya di depan orang lain. Makhluk yang biasanya tersembunyi di balik kegelapan bayang-bayang malam.
Makhluk-makhluk dunia malam.
Mereka yang bersembunyi di siang hari dan hanya muncul di tengah selimut kegelapan malam. Dan mungkin malam itu aku cukup beruntung –atau sial, tergantung dari sisi mana aku melihatnya– karena bisa berjumpa dengan mereka. Walaupun harus kuakui, itu bukan pengalaman yang ingin aku rasakan lagi untuk kedua kalinya. 
“Yah, kalau memang itu Nekomata, aku jadi penasaran apa selain kucing itu, ada yang lainnya di sekitar sini.” Irvan kembali bicara sambil mengelus-elus kepala Nos, yang kini mengeluarkan suara dengkuran perlahan. “Aku penasaran, apa si Nosferatu ini nantinya bakal bisa jadi kucing siluman seperti itu.”
Aku langsung melotot ke arah Irvan.
Enak saja ngomong!
Aku memang tidak akan membiarkan Nosferatu berumur pendek, aku sudah bertekad untuk merawatnya sampai tua nanti, tapi itu bukan berarti aku ingin kucingku itu nantinya berubah jadi siluman karena hidup terlalu lama!
Yah, kalaupun itu memang terjadi pada akhirnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa juga sih. Hanya saja aku sepenuhnya berharap Nosferatu tidak segera berubah jadi siluman. Soalnya memikirkan soal itu saja membuatku takut sih, apalagi melihat kucingku sendiri jadi semacam makhluk gaib.
Pokoknya jangan deh!
“Hei, Nos,” ujarku sambil menyentil dahi kucingku dan membuatnya terbangun. “Kau tidak akan buru-buru jadi kucing siluman kan?”
Selama beberapa saat sang kucing terdiam. Aku sih tidak mengharapkan jawaban apapun, atau lebih tepatnya, aku mengharapkan tidak ada jawaban apapun dari sang kucing berbulu belang hitam itu.
“Meong~!”
Nos mengeong pelan, tapi aku berani sumpah … sebuah cengiran lebar ala Cheshire Cat baru saja muncul di wajah polos kucing peliharaanku itu.

****

End of 7th Spiral

Move on to the next story


Comments