4th Spiral: Forgotten Scenery



“Jadi kau bilang kalau ikan peliharaanmu bisa bicara?”
“Yap.”
“Dan kau melihat pemandangan alam kota Bekasi sebelum jadi pemukiman padat penduduk seperti ini?”
“Yap.”
“Dan kau pikir kau masih waras?”
“Tentu saja. Kalau tidak aku pasti sudah berkeliaran bersama puluhan pasien sakit jiwa lainnya di RSJ sana.”
“Orang gila biasanya tidak merasa kalau dia gila kan?”
Aku menepuk pundak pria berambut cepak di sampingku. Namanya Irvan dan kami berdua bekerja di bawah perusahaan yang sama, perusahaan kurir kilat khusus yang beroperasi di sekitar kota Jakarta. Aku mengenalnya sejak pertama kali aku bekerja di perusahaan, dan itu tiga tahun yang lalu. Dan sejauh yang kutahu, Irvan adalah orang yang masih mau mendengarkan ceritaku dengan (agak) sedikit sabar ... meskipun dia tidak pernah berhenti mempertanyakan tingkat kewarasanku.
Seperti sekarang misalnya.
“Aku yakin aku tidak bermimpi. Dan kau boleh lihat ikan hitam yang kuterima dari kakek misterius di pinggiran BKT waktu itu.”
“Tidak terima kasih,” sahutnya sambil nyengir lebar. “Ngomong-ngomong ke mana kita sekarang?"
Aku membuka komputer tablet yang sedari tadi kupegang untuk bernavigasi di tengah keruwetan kota Jakarta ini. Saat ini kami berdua sedang mengantar beberapa buah paket yang dipesan oleh perusahaan IT di pinggiran kota Jakarta. Masalahnya alamat yang kami tuju berada di luar wilayah operasi normal kami berdua, jadi wajar saja kalau kami tidak begitu tahu jalan mana yang harus ditempuh.
Dulu pastinya sulit sekali bagi seorang kurir untuk mencari alamat tujuan di tengah kekacauan kota seperti ini, tapi sekarang mudah saja. Hanya tinggal beberapa sentuhan di layar ponsel atau tablet, maka alamat tujuan ku langsung muncul dalam waktu nyaris seketika, lengkap dengan detail jalur tercepat yang bisa dilalui.
Sungguh praktis sekali.
Viva revolusi teknologi!

“Lima ratus meter ke depan sana, belok kiri,” ujarku sambil menunjuk ke arah perempatan dengan lampu lalu lintas tidak jauh di depan. “Dan perhatikan sebelah kiri. Dari tadi Kopaja di belakang sana sudah gatal mau menyalip dari kiri tuh.”
Irvan mendengus kesal. “Mereka boleh coba kalau bisa!”
Ucapannya secara refleks membuatku mengencangkan sabuk pengaman. Sekedar jaga-jaga. Aku tahu Irvan bukan orang yang mudah marah, atau bertindak gegabah di jalanan. Tapi harus diakui, bahkan orang paling sabar di dunia saja bisa jadi gila, atau bertingkah di luar kebiasaannya kalau menghadapi keruwetan jalanan ibukota ini.
Untungnya Irvan masih cukup sabar untuk mengendarai mobil boksnya dengan hati-hati, meski dua kali dia nyaris menyerempet sebuah angkot yang berhenti mendadak di depan serta sebuah sepeda motor yang tiba-tiba saja menyalip dari sisi kiri. Walaupun harus menghadapi kemacetan di banyak titik, dan beberapa kali nyaris mengalami kecelakaan, kami akhirnya sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Tanpa banyak basa-basi, aku dan Irvan segera mengeluarkan paket dari dalam mobil boks, memberikan salinan tanda terima, kemudian bergegas kembali ke mobil. Kami sengaja bekerja secepat mungkin agar tidak terjebak dalam kemacetan yang semakin menjadi-jadi menjelang jam makan siang. Beruntung tidak ada kendala dalam transaksi serah terima barang tadi, sehingga dalam waktu kurang dari setengah jam kami sudah siap untuk kembali ke kantor.
Nah, kali ini giliranku yang menyetir. Irvan kelihatannya lelah dan aku tidak mau dia mengantuk dan tertidur di balik kemudi. Kalau itu terjadi, sudah pasti nyawa kami berdua berada dalam bahaya besar.
“Oi. Kau yakin mau menyetir?” tanya Irvan begitu dia duduk di bangku penumpang di sampingku.
“Yap. Kenapa memangnya?”
“Kan kau agak ...” Dia lalu menyilangkan jari telunjuk di depan dahinya. “... sinting.”
Aku mendengus dan menyalakan mesin mobil. Sementara itu Irvan tertawa pelan sambil mengencangkan sabuk pengamannya,. Dia lalu menyalakan komputer tablet yang tadi kugunakan untuk bernavigasi.
“Kau tahu jalan pulang? Apa aku perlu menyalakan GPS-nya?”
“Tidak perlu. Aku sudah hapal jalannya,” ujarku.
Irvan bersiul pelan. “Kalau ada satu hal yang aku kagumi dari mu, itu adalah kemampuanmu mengingat jalan. Kau seperti punya kompas alami.”
Aku nyengir lebar.
Dia benar. Kalau ada satu hal yang bisa kubanggakan dari diriku sendiri, itu adalah kemampuanku mengingat jalan dan menentukan arah. Meskipun kemampuan itu tidak selamanya berguna. Kadang aku masih saja tersesat ke tempat yang aneh-aneh.
“Begitulah.”
“Seperti burung merpati saja,” balas Irvan sambil nyengir lebar.
Aku mengabaikan komentarnya dan mulai mengemudikan mobil boks kami kembali ke kantor. Perjalanan pulang kami untungnya cukup lancar ... yah ... kalau terjebak nyaris tidak bergerak di Tol Lingkar Dalam selama setengah jam bisa dibilang lancar. Tapi selain itu, tidak ada kendala lain.
Sementara aku mengemudi, ternyata Irvan sudah tertidur pulas di bangku penumpang. Dengan enaknya dia berkelana di alam mimpi, sementara aku berjuang menembus jalanan kota Jakarta, yang terkadang lebih parah dari mimpi buruk. Wajahnya kalau sedang tidur terlihat polos, tidak seperti waktu dia bangun. Dan dia sepertinya tertidur pulas sekali, sampai dia tidak bangun waktu aku menginjak rem mendadak menghindari sepasang bocah alay yang baru saja memotong jalan dengan motor sport-nya.
Apa boleh buat. Sejak kemarin dia mondar-mandir sampai malam mengantar paket kilat ke beberapa tempat di hari yang sama. Wajar kalau dia kelelahan sekarang. Sejujurnya aku pastinya juga akan seperti Irvan. Untung aku biasanya mengendarai partner tuaku untuk mengantar paket kecil, tidak seperti Irvan yang biasa mengantar paket-paket besar dengan mobil. Motor kuno yang sudah bersamaku selama sepuluh tahun itu itu bisa jadi sangat ‘cepat’ kalau berhadapan dengan kemacetan di kota Jakarta. Tidak heran ratusan ribu, kalau tidak jutaan, orang yang berjibaku tiap hari di jalanan ibukota ini memilih untuk menunggangi kuda besi seperti ku.
Mereka cepat, gesit, tangkas, dan ekonomis.
Tidak seperti sebagian besar angkutan umum di kota yang berat, lambat, panas, penuh sesak dengan manusia, dan menyemburkan asap tebal yang siap menggerogoti paru-paru siapa pun yang menghisapnya.
Seperti biasanya. Agar aku tidak jadi gila, aku membiarkan pikiranku larut dalam ritme jalan yang mulai teratur. Entah memang kemacetannya mulai lebih teratur, atau aku saja yang jadi terbiasa dengan alur kendaraan yang berbaris di sekitarku. Yang jelas, barisan maju mobil, motor, bis, dan truk di sekitarku jadi mudah dipahami.
Ada sedikit celah?
Maju perlahan sambil waspada terhadap motor-motor yang bisa muncul dan menyelip kapan saja.
Ada celah besar?
Injak gas, lalu injak rem, tepat sebelum mobilku menghantam mobil di depan.
Tidak ada celah?
Yah ... kalau itu sih sabar saja.
Tidak ada gunanya mengomel, mengumpat, apalagi membunyikan klakson berkali-kali seperti orang sinting. Biar bagaimanapun, semuanya terpaksa harus antri. Semuanya terpaksa berbaris dengan teratur laksana tentara yang maju ke medan perang. Walau ritmenya sering kali berantakan, tapi aku menyadari, ada keteraturan dalam kekacauan di sekitarku. Barisan yang tadinya kacau, saling potong, saling silang, perlahan menjadi lebih teratur bagaikan ...
“Oi! Ini di mana?”
Aku tersentak kaget dan menyadari kalau Irvan ternyata sudah bangun. Dia masih kelihatan setengah mengantuk, dengan matanya yang agak kemerahan, tapi setidaknya dia sudah bangun sekarang. Anehnya, dia terlihat sangat kebingungan.
“Kita di ...”
Ucapanku terdiam ketika menyadari kalau kami berdua sudah tidak berada di jalanan kota Jakarta lagi. Tidak ada barisan kendaraan di sekitarku. Tidak ada asap kendaraan yang memenuhi udara. Tidak ada wajah orang-orang yang kelihatan lelah atau jengkel di balik kemudi mereka. Yang ada sekarang hanyalah deretan pepohonan tinggi dan semak belukar yang mengepung kami dari sisi kiri dan kanan, sementara di depan dan di belakang terlihat jalanan tanah yang membelah kerimbunan hutan.
“Kita ... masih di ... Jakarta kan?”
Aku mengangguk tidak yakin.
“Harusnya sih ... begitu?”
Irvan mengusap-ngusap mata, kemudian mencubit pipinya. Aku pun melakukan hal yang sama.
“Ini mimpi kan?” tanya Irvan lagi. “Kita tadi ada di kota Jakarta kan? Hutan beton! Bukan hutan belantara seperti ini! Hoi! Kau tadi tidak salah jalan kan?”
 Aku menelan ludah.
Kalaupun salah jalan, mana ada kawasan hutan rimbun seperti ini di sekitar kota Jakarta. Kalau pun ada yang agak mirip hutan, itu pastinya ada di sekitar Depok atau di perbukitan pinggiran kota Bogor. Dan aku yakin 100% kalau aku tadi berkendara di tengah kota Jakarta, sama sekali tidak menuju ke arah Depok atau pun Bogor. Seandainya pun tadi aku salah belok, tidak mungkin aku mengemudi sampai sejauh ini masuk ke hutan belantara!
“Oke. Jangan panik. Santai saja. Tetap tenang.”
Aku bergumam sambil kembali mengendarai mobil boks kami menembus kerimbunan hutan. Untungnya masih ada jalanan di sini, meskipun jalanannya masih beralaskan tanah, rumput, dan lubang di mana-mana. Mobil boks yang kukendarai terguncang-guncang cukup kuat ketika melintasi jalanan yang tidak didesain untuk dilewati kendaraan bermotor ini. Aku hanya berharap shock breaker mobil ini masih bisa bertahan sampai ... yah ... sampai kami keluar dari hutan aneh ini. Untungnya kargo kami sudah dikeluarkan semua, sehingga tidak ada resiko barang klien yang rusak akibat melintasi jalanan liar seperti ini.
“Ini ... sebenarnya kita ini ada di mana sih?” Irvan bertanya lagi setelah diam cukup lama.
Aku mengangkat bahu. Jujur saja, aku sama bingungnya dengan dirimu!
“Entah,” sahutku singkat. “Dan entah bagaimana juga kita bisa sampai di sini.”
“Tadi kau yang nyetir kan? Kok kita bisa nyasar sampai di hutan begini?” tanya Irvan lagi.
“Mana kutahu,” jawabku. “Tadi kan ... WHOA!”
Tiba-tiba aku mengerem laju kendaraan, soalnya ada babi hutan besar baru saja melompat dari balik semak-semak dan melintasi jalan di depan mobil yang kukendarai. Irvan yang tidak siap dengan tindakanku tersentak ke depan, lalu balik tersentak ke kursinya.
Viva sabuk pengaman!
Kalau tidak ada itu, wajahnya pasti sudah menghantam dashboard mobil.
Dan sejak kapan ada babi hutan yang tersisa di sekitar Jabodetabek? Kukira semuanya sudah diburu sampai punah? Babi sebesar itu pastinya bakal jadi santapan lezat bagi siapa pun yang doyan memakannya.
“Maaf. Kau lihat tadi ada babi nyelonong di depan mobil,” ujarku sambil menarik nafas panjang. “Kau tidak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja,” jawab Irvan. “Tapi kalau kulihat-lihat ... tempat ini tidak buruk juga. Ada pepohonan rindang di mana-mana. Ada suara burung dan hewan hutan bersahut-sahutan. Dan udaranya! Coba hirup aroma segar ini! Entah kapan terakhir kali aku mencium aroma alam seperti ini.”
Irvan kembali berkomentar, kali ini sambil membuka jendela mobil di sampingnya. Begitu dia melakukan itu, udara segar penuh bau dedaunan dan wangi bunga langsung menyeruak masuk ke dalam kabin mobil. Ada sedikit aroma masam khas rawa-rawa, tapi itu sama sekali tidak menusuk hidung. Bahkan kalau boleh kubilang, malah menambah kesan aroma alami hutan yang mengepung kami dari segala arah.
Rasanya begitu segar!
Begitu hidup!
Sudah lama sekali aku tidak menghirup udara sesegar ini!
Sama sekali tidak ada aroma asap yang selalu menggantung di udara setiap hari. Tidak ada bau busuk sampah yang kadang berserakan di pinggir jalan atau di tempat-tempat umum. Tidak ada!
Alih-alih bangunan beton yang biasanya berdiri tegak menantang langit, di sekitar kami sekarang ada banyak pepohonan yang sedang berbuah. Sebagian besar di dominasi oleh pohon yang menghasilkan buah berwarna kecokelatan, agak mirip sawo, tapi aku yakin itu bukan sawo. Dan ukurannya terlalu besar untuk buah duku atau kelengkeng. Yang jelas, buah-buahan itu tumbuh begitu lebat di atas pohon, sampai-sampai dahannya melengkung ke bawah saking beratnya.
“Oke. Ini aneh! Kuharap kita tidak benar-benar nyasar sampai ke hutan Kalimantan. Kalau tidak ... yah ... kita dalam masalah besar.”
Aku berkomentar lagi setelah menerima kenyataan bahwa kami tersesat. Entah di mana, tapi jelas ini bukan lagi kota Jakarta. Atau setidaknya bukan Jakarta seperti yang kukenal (kalau ini memang masih kota Jakarta).
“Sebentar ... itu buah menteng! Lihat!” Irvan kembali berkomentar sambil menunjuk ke arah dahan salah satu pohon besar yang baru saja kulewati. “Aku tidak mungkin salah! Nenekku dulu punya pohon menteng di belakang rumah. Aku sering makan buahnya waktu masih kecil.”
“Iya. Itu pohon menteng, aku tahu itu,” sahutku agak sewot sambil menoleh ke arahnya. “Tapi itu tidak penting sekarang. Kita masih tersesat di tengah belantara ini dan ...”
“AWAS!”
Irvan mendadak berseru memperingatkan, sayangnya aku tidak cukup cekatan dan tiba-tiba saja mobil yang kami tumpangi terjungkal masuk ke dalam sungai. Untungnya sungai itu tidak dalam, dan kami tidak melaju dengan kecepatan tinggi. Tapi benturan barusan sempat membuat pandanganku agak kabur. Dan benturan barusan sepertinya juga merusak mesin mobil, karena mesin 2000 cc itu langsung mati seketika. Tapi saat ini itu bukan hal penting, yang penting sekarang memastikan Irvan tidak terluka.
“OW! Maaf ... kau tidak apa-apa?” tanyaku pada Irvan, yang juga sama kagetnya denganku. Untung dia juga tidak terluka. Yah, mungkin sedikit, karena aku lihat dia mengerang kesakitan. Tapi setidaknya dia masih hidup.
“Tidak ...” gumam Irvan sambil memegangi pelipisnya yang tadi sempat membentur kaca jendela. “... tapi lihat! Kita kembali!”
Aku langsung mendongak dan menyadari kalau kami benar-benar sudah kembali di tengah kawasan kota Jakarta. Dan sungai tempat mobil kami terjungkal barusan, kini menjelma balik menjadi sebuah parit beton yang cukup dalam. Semua deretan pepohonan penuh buah yang tadi kulihat, kini kembali menjadi deretan bangunan beton yang berdiri tegak di pinggir jalan. Suara hewan-hewan hutan yang nyaring bersahutan, kini berubah menjadi suara derum kendaraan bermotor dan klakson marah dari pengendaranya.
Dan udara segar yang tadi? Tidak usah ditanya lagi.
Selain itu, aku menyadari kalau orang-orang mulai berkerumun di sekeliling kami, dan jalanan tidak jauh dari tempat mobil kami terperosok, kini mulai padat merayap. Sebagian orang yang penasaran sengaja memperlambat laju kendaraan mereka dan tentu saja kelakuan mereka membuat menghambat alur lalu lintas. Singkat kata: macet.
“Yang barusan itu apaan ya?” Irvan bertanya padaku sambil berusaha melepaskan diri dari sabuk pengamannya. “Kita tadi baru saja tersesat di ...”
“... tengah hutan belantara. Ya. Aku juga melihat hal yang sama. Jadi kurasa yang tadi itu bukan mimpi.”
“Oooh ...” Irvan melepaskan suara lenguhan panjang.
Sebenarnya suaranya agak mirip suara lenguhan seekor sapi, tapi kurasa aku tidak perlu mengatakan itu di depannya sekarang.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi barusan, tapi kalau mengingat beberapa pengalaman anehku akhir-akhir ini, rasanya pengalaman kami tadi itu tidak terlalu aneh. Setidaknya bagiku, entah bagi Irvan. Namun saat aku melihat ekspresi wajahnya, kurasa dia tidak menganggap yang barusan itu terlalu menakutkan.
Dia malah terlihat kegirangan.
“Masih menganggap aku sinting?” tanyaku sambil membuka pintu mobil. “Masih menganggap semua hal aneh yang kuceritakan waktu itu hanya khayalanku semata?” 
Irvan seperti ingin menggelengkan kepalanya, tapi mendadak dia mengangguk.
“Yap. Tentu saja!” sahutnya sambil nyengir lebar. “Kau masih sinting seperti biasanya.”

 ****

Tentu saja setelah itu kami dapat cukup banyak masalah dan aku nyaris dipecat dari perusahaan tempatku bekerja. Tapi entah karena aku benar-benar beruntung atau apa, polisi menemukan kalau rem mobil yang kami kendarai sudah aus dan tidak layak jalan. Oleh karena itu perusahaan tidak berani menuntut macam-macam, apalagi memecat kami berdua, soalnya urusannya bakal lebih panjang lagi.
Kenapa?
Soalnya di jaman sekarang ini, mudah sekali bagi seseorang untuk menyebarkan berita buruk tentang seseorang melalui media sosial. Berhubung perusahaan tempatku bekerja punya reputasi yang patut untuk dipertahankan, mereka pada akhirnya tidak menuntut apapun dari kami berdua.
Alih-alih dituntut atau dipecat, kami justru mendapat sedikit ganti rugi akibat kecelakaan waktu itu. Aku tahu itu uang tutup mulut. Tapi yang namanya rezeki kan tidak boleh ditolak, jadi aku dan Irvan tidak banyak tanya saat menerima uang itu.   
Tidak lama setelah pengalamanku tersesat di hutan penuh pohon buah bersama Irvan, aku melakukan sedikit riset. Soalnya kadang-kadang tempatku tersesat itu bisa jadi benar-benar ada ... atau setidaknya ... dulu pernah ada.
Dan tebak di mana kami tersesat waktu itu?   
Menteng!
Tepatnya tidak jauh dari area yang sekarang sudah berubah menjadi Taman Suropati.
Meskipun saat ini kawasan Menteng adalah kawasan hutan beton, konon pada jaman dahulu kala area itu merupakan hutan lebat yang dipenuhi pohon buah-buahan, terutama pohon Menteng. Katanya sih itu alasan kenapa kawasan itu dinamai dengan nama Menteng, nama yang tetap bertahan selama ratusan tahun sampai sekarang.
Jauh sebelum Belanda datang ke tanah Jawa, konon tempat itu adalah tempat orang-orang mencari dan memetik buah-buahan segar yang selalu berganti tiap musimnya. Namun saat orang-orang Belanda datang dan mulai menguasai nusantara, Menteng berubah menjadi kawasan pemukiman dan vila mewah bagi para petinggi kolonial Belanda.
Meskipun jaman penjajahan Belanda sudah lama berlalu, tapi fungsi kawan Menteng bagi warga kota Megapolitan ini tidak banyak berubah. Di jaman modern ini area itu tetap menjadi kawasan elit di jantung pusat kota Jakarta, dilengkapi taman-taman rindang, bangunan-bangunan megah, dan rumah-rumah mewah milik mereka yang punya kelebihan uang.
Tapi di sela-sela semua bangunan megah itu, kurasa masih ada sisi-sisi kuno hutan Menteng yang masih terpelihara.
Sisi yang jauh lebih tua dari kota ini.
Sisi yang sama kunonya dengan tanah Jawa ini.
Sisi yang biasanya tidak pernah nampak ke permukaan.
Sisi lain dari ingatan masa lalu hutan Menteng yang telah lama hilang dan dilupakan oleh sebagian besar penghuninya.
Mungkin pengalaman kami waktu itu hanya sebagai pengingat kalau hutan Menteng masih ada.
Hutan itu masih tetap hidup sampai sekarang, walau sudah berubah rupa.
Mungkin waktu itu hutan Menteng hanya ingin sekali lagi mengingatkan penduduknya akan wujud aslinya yang terlupakan, wujud aslinya yang sudah tidak lagi dibicarakan orang, wujud asli yang sama sekali tidak terpikirkan orang sebagian besar warga Jakarta.
Yah ... yang manapun itu, yang jelas buah Menteng itu rasanya masam –walau ada juga yang manis– dan bijinya besar sekali! Tidak heran buah ini kurang disukai oleh warga Jakarta di masa sekarang ini.
Dan keberadaannya pun semakin langka.
Seikat buah Menteng yang sedang kunikmati sambil minum kopi ini, akhirnya berhasil kutemukan setelah beberapa lama berburu di pasar buah di sekitar ibukota. Sulit menemukan pedagang yang masih menjual buah ini. Aku pun ragu kalau pohonnya masih banyak ditemukan di sekitar kota Jakarta. Tapi setidaknya untuk sore ini aku masih bisa menikmati rasa buah langka yang pohon-pohonnya pernah menguasai jantung kota Jakarta.
Entah sampai kapan buah Menteng ini bertahan di tengah gusuran buah-buah impor yang membanjiri pasar ibukota.
Mungkin saja suatu saat nanti, buah ini hanya akan menjadi kenangan pudar bagi orang-orang yang pernah mengenal, atau mencicipi rasanya. Mungkin saja di masa depan, orang-orang bahkan sama sekali tidak tahu seperti apa buah Menteng itu. Atau mungkin saja ... di masa depan nanti buah asli tanah Betawi ini hanya akan menjadi cerita, legenda, atau bahkan dilupakan sama sekali oleh mereka yang tinggal di kota ini.
Yah ... segala sesuatnya juga pasti akan pudar dan terlupakan suatu saat nanti.  
“Tapi yang jelas, yang seperti ini sih harus dinikmati saja selagi bisa.”
Aku bergumam pada diriku sendiri, sambil menoleh ke arah akuariumku.
“Bagaimana menurutmu?”
Dan ikan peliharaanku itu pun menjawab.
Terserah kau saja.

****

End of 4th Spiral

Move on to the next story

Comments