Everyday Adventure IX



Everyday Adventure IX
(Penjelajah Angkasa)

Central Tower tetap saja terlihat begitu megah, tidak peduli berapa kali pun Maria melihatnya. Apalagi bila dilihat dari dekat, menara yang tingginya serasa menjangkau langit itu tampak begitu luar biasa. Itu belum ditambah fakta bahwa sebenarnya isi menara itu adalah sebuah pabrik robot yang sangat kompleks dan canggih, sehingga mampu menciptakan robot berteknologi cyber-brain dalam waktu singkat.
Sambil menarik nafas dan tersenyum lebar, Maria melangkahkan kaki memasuki Central Tower. Dengan segera dia disambut oleh ruangan luas berbentuk lingkaran yang merupakan lobi depan menara itu. Seperti biasanya, ruangan itu dipenuhi beberapa robot yang ingin mendapatkan perawatan, atau penggantian suku cadang oleh Mother. Meskipun sebenarnya saat ini sudah cukup banyak robot ahli reparasi di kota Bravaga, sebagian besar robot generasi lama masih bergantung pada perawatan dari Mother, terutama mereka yang dibuat pada era sebelum Catastrophy.
Melihat Maria datang, beberapa robot yang sedang mengantre langsung menyapa gynoid berambut hitam itu.
“Halo, Maria~!”
“Loh? Mau dirawat juga ya?”
“Pagi, Pembuat Masalah.”
“Sendirian saja? Mana Ryouta dan Buggy? Biasanya kalian bertiga?”
Dalam waktu singkat Maria sudah dikerumuni oleh berbagai jenis robot yang ingin menyapanya. Meskipun Maria adalah biang onar di kota Bravaga, tapi dia juga cukup tenar, bukan hanya karena ulahnya, tapi juga karena sifatnya yang energik dan supel. Tidak heran banyak robot yang langsung mengenali gynoid itu begitu dia datang.
“Eeh... ada yang lihat Ryouta? Harusnya dia sudah datang duluan ke sini.”
Maria mengangkat kedua tangan, berusaha untuk keluar dari kepungan para robot yang masih ingin menyapa dan berbicara dengannya. Mendengar pertanyaan itu, sebuah robot berkepala tabung dan bermata satu, langsung menjawab.
“Ah, kalau sang Guardia sih tadi masuk ke level bawah, ke pabrik.” ujar robot itu sambil menunjuk ke arah pintu elevator di seberang lobi. “Ada satu Pengembara yang juga ikut bersamanya. Entah mau apa mereka berdua.”
“Begitu? Kalau begitu aku pergi dulu ya!”
Tanpa banyak bicara lagi, Maria melompat tinggi di atas kerumunan yang mengelilinginya, kemudian mendarat ringan di lantai. Gerakannya yang anggun membuat beberapa robot berseru kagum, beberapa di antara mereka bahkan sempat bertepuk tangan.
Senyum lebar tersungging di bibir Maria selagi dia menekan tombol di dalam elevator. Tidak butuh waktu lama bagi Maria untuk sampai ke pabrik yang berada di bawah tanah Central Tower. Begitu pintu elevator terbuka, dia langsung melihat sosok Ryouta yang sudah berdiri menantinya. Di samping android bertubuh besar itu berdiri Arslan sang Pengembara, yang beberapa waktu lalu mampir ke kota Bravaga.
“Oh! Akhirnya kau datang juga.”
Arslan menyapa Maria dan berjalan menghampiri gynoid itu.
“Kenapa sih kalian tiba-tiba memanggilku ke sini? Ada apa nih?”
Maria bertanya penuh semangat. Dia sama sekali tidak tahu kenapa Ryouta dan Arslan tiba-tiba menyuruhnya datang ke pabrik bawah tanah Central Tower. Padahal biasanya Ryouta melarang Maria untuk seenaknya masuk ke pabrik ini, dan itu adalah satu-satunya larangan yang tidak pernah dilanggarnya. Soalnya dia tahu kalau ada banyak mesin sensitif di bawah Central Tower, sehingga kalau Maria nekat berbuat onar, bisa-bisa fungsi seluruh menara itu bisa lumpuh.
“Ada sedikit tugas dari Mother, dan kupikir tugas kali ini pastinya menarik bagimu.” Arslan menjawab pertanyaan Maria sambil menyikut pinggang Ryouta. “Ayo, tunjukkan padanya.”
Ryouta menghela nafas, kemudian berjalan menyingkir dan memperlihatkan sebuah kotak logam besar yang tadi berada di belakangnya. Kotak yang sepenuhnya berwarna hitam itu tampak kokoh dan juga terlihat sangat berat. Di permukaan kotak itu, tertera sebuah tulisan besar ‘G5’ dengan tinta putih.
“Apa itu?” tanya Maria penasaran.
“Ini suku cadang untuk mesin sebuah Space Battleship,” sahut Ryouta singkat. “Beberapa waktu lalu Mother akhirnya bisa mereplikasi komponen rumit ini. Jadi sekarang kita diminta untuk mengantarkan benda ini pada yang membutuhkannya.”
Maria memiringkan kepala karena bingung.
Space Battleship? Memangnya di Bravaga ada robot yang butuh komponen mesin pesawat luar angkasa?” tanyanya heran. Dia lalu ganti menatap Arslan. “Apa ada anggota Pengembara butuh suku cadang seperti itu?”
Mendengar ucapan Maria, Arslan langsung menoleh ke arah Ryouta, yang segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Kau belum cerita soal itu ya?” tanya Arslan.
“Belum,” sahut Ryouta singkat. Sebelum Arslan sempat bertanya lagi, Ryouta buru-buru bicara. “Aku tahu kau mau tanya apa. Jadi langsung saja kujawab: belum waktunya.”
Arslan mendengus. “Selalu saja begitu,” ujarnya sambil melirik ke arah Maria. “Ini komponen yang diminta oleh Mei beberapa tahun yang lalu. Tapi waktu itu Mother belum punya cetak birunya. Baru sekarang komponen itu bisa dibuat berkat cetak biru yang kami temukan beberapa waktu lalu.”
 “Mei? Siapa itu?” tanya Maria penasaran.
Arslan tersenyum lebar mendengar pertanyaan itu.
“Automa di Space Battleship G5, Ganymedes. Dia itu satu di antara sekian banyak kapal pelindung armada Project Starchild ratusan tahun yang lalu.”

****


Maria melangkah ringan sambil sesekali berhenti untuk memperhatikan tumbuhan aneh yang kini telah menguasai reruntuhan kota. Saat ini dia dan Ryouta sedang berjalan menuju ke arah Ganymedes, untuk mengantarkan pesanan komponen pesawat itu.
“Kenapa Arslan enggak mau ikut? Kan asyik kalau dia juga ikut. Soalnya hari ini Buggy sedang sibuk memperbaiki jaringan kabel bawah tanah, jadinya dia tidak bisa ikut.” Maria sambil berjongkok di atas tembok bangunan yang setengah runtuh. “Padahal kurang seru kalau hanya kita berdua begini.”
Ryouta mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau bilang kalau Arslan dan Mei tidak bisa akur karena masa lalu mereka. Meskipun sudah lama Ryouta menganggap Arslan tidak berbahaya, tapi berbeda dengan Mei. Dia masih menganggap mantan Machina itu sebagai ancaman serius.
“Arlsan sibuk dengan urusan lain,” jawab Ryouta pada akhirnya. “Hei! Perhatikan langkahmu, jangan sampai ada bangunan yang runtuh!”
Sambil berseru, Ryouta menyingkirkan bangkai sebuah mobil yang menghalangi jalannya. Seperti halnya bagian lain dari reruntuhan kota Megapolitan di sekitar Bravaga, sisi kota yang ini juga sama berantakannya. Hampir seluruh bangunan sudah dipenuhi oleh tumbuhan, yang nyaris setengahnya adalah walking tree. Sementara itu ada banyak sekali backpacker kecil yang berkeliaran, dan sesekali menampakkan diri karena penasaran. Namun wilayah ini adalah salah satu zona aman di reruntuhan kota, terutama karena kehadiran Ganymedes yang telah menyingkirkan bahaya mengancam seperti mutan, atau robot liar.
“Jadi, sebenarnya Mei ini siapa sih?” Maria kembali bertanya, kali ini sambil berjalan santai di samping Ryouta. “Apa dia sama seperti mu?”
Ryouta menggelengkan kepalanya.
“Dia itu Automa,” sahutnya singkat.
“Ooh! Jadi dia itu sama seperti si Dokter itu? Bekas manusia?” Maria berseru penuh semangat mendengar jawaban Ryouta. “Seperti apa wujudnya?”
Sekali lagi Ryouta menggelengkan kepalanya. Dia memang pernah melihat Automa itu beberapa kali di jalanan kota Bravaga, tapi dia tidak mengenal siapa namanya. 
“Yang ini beda,” ujarnya. “Mei memindahkan seluruh kesadarannya ke sistem kendali Ganymedes. Jadi bisa dibilang, dia berubah dari manusia menjadi sebuah pesawat luar angkasa.”
Kedua mata Maria semakin berbinar-binar mendengar penjelasan Ryouta. Ini pertama kalinya dia dengar ada manusia yang pindah ke tubuh sebuah pesawat angkasa. Sebelumnya dia mengira kalau Automa itu semuanya seperti Dokter, yaitu manusia yang memindahkan kesadarannya ke tubuh robot humanoid. Maria terdiam sambil membayangkan seperti apa wujud Ganymedes. Mendengar kalau kapal angkasa itu dulu bertugas melindungi armada Starchild, dia tahu kalau Mei adalah Automa yang hebat. Setidaknya Maria berpikir Mei itu sama hebatnya dengan Ryouta.
“Nah, kita sudah sampai.”
Ryouta mendadak berhenti di depan sebuah pintu logam besar berkarat yang bertuliskan ‘G5’. Meskipun tampak sangat tua, tapi pintu itu masih saja terlihat kokoh. Ketika Ryouta dan Maria berjalan mendekat, sebuah kamera pengamat di depan pintu itu langsung berputar ke arah keduanya.
“Mei, buka pintunya. Aku membawa pesananmu dari Mother.”
Ryouta berseru pada kamera itu sambil menunjukkan kotak hitam yang dia panggul.
“Masuklah ke dalam. Aku akan segera menemui kalian.”
Mendadak Maria dan Ryouta mendengar suara seorang perempuan dari pengeras suara di dekat kamera pengamat itu. Pada saat yang sama, pintu tebal di hadapan mereka berderit terbuka dan menampakkan sebuah lorong yang panjang dan luas.
Tanpa ragu, keduanya langsung melangkah masuk ke dalam Ganymedes. Tidak lama kemudian, mereka sampai di sebuah ruangan luas yang mirip sebuah lobi hotel canggih. Dan di tengah-tengah ruangan itu, telah hadir hologram seorang wanita berkacamata dengan rambut panjang berkepang yang disampirkan ke bahunya. Senyum manis langsung tersungging di bibirnya ketika melihat dua tamunya sudah datang.
“Aku sudah menunggu kalian berdua,” ujar wanita itu. Dia lalu menoleh ke arah Maria. “Kurasa ini pertama kali kau datang kemari ya?”
Maria mengangguk bersemangat.
“Iya! Ngomong-ngomong, namaku Maria. Salam kenal~!” ujarnya sambil mengulurkan tangan, lupa bahwa wanita di hadapannya itu hanya sebuah hologram.
“Salam kenal juga, aku Mei. Kurasa kau sudah dengar sedikit tentangku dari Ryouta kan?” balas Mei sambil balas menjabat tangan Maria. Dia lalu kembali menatap ke arah Ryouta dan barang bawaannya. “Jadi itu komponen Alcubierre Field Compression yang waktu itu kuminta?”
“Ya. Baru kemarin Mother berhasil menyelesaikan semuanya,” ujar Ryouta sambil menepuk kotak besar di sampingnya. “Kali ini kau harus berterima kasih pada Arslan. Berkat dia dan kawanan Pengembara, teknologi itu sekarang bisa direplikasi oleh Mother.”
Begitu mendengar nama Arslan disebut, Mei langsung mendengus kesal. Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan dia tidak menyukai robot bersayap itu. Maria sebenarnya penasaran dengan sikap Mei, tapi dia merasa tidak sebaiknya dia menanyakan soal itu sekarang.
“Baiklah. Bilang kalau Ganymedes berterima kasih atas bantuannya,” balas Mei dengan nada ketus. “Sekarang kau bisa serahkan komponen itu pada ‘anak-anakku’. Biar mereka yang mengurus semuanya.”
Sambil berkata demikian, sekelompok robot mungil mendadak muncul dari lorong-lorong yang tersambung ke lobi. Mereka semua tampak identik. Semuanya mengenakan mantel panjang bertudung, serta memiliki wajah bulat yang terlihat menggemaskan. Dengan cepat, beberapa robot mungil itu mengambil kotak besar yang dibawa Ryouta, kemudian membawanya ke salah satu lorong.
“Lucunya~!” seru Maria kegirangan. Dia sempat berusaha memeluk salah satu robot mungil yang masih tertinggal di belakang teman-temannya, namun menyerah karena robot itu ternyata gesit sekali menghindari pelukannya.
“Robot-robot tadi itu apa sih?” tanya Maria. Dia terdengar agak kecewa karena gagal bermain dengan robot-robot mungil barusan.
“Mereka itu bagian dari sistem perbaikan dan perawatan Ganymedes,” ujar Mei geli melihat sikap Maria. “Ngomong-ngomong, apa kau pernah melihat pesawat penjelajah angkasa sebelumnya?”
Maria menggelengkan kepala sekuat tenaga.
“Kalau begitu, apa kau mau melihat-lihat isi pesawatku ini?” tanya Mei.
“Tentu saja!!” sorak Maria.
Mei tersenyum semakin lebar melihat tingkah Maria yang kekanakan. Dia lalu menoleh ke arah Ryouta.
“Bagaimana denganmu? Apa kau mau ikut juga?” tanya Mei.
Ryouta mengangkat bahunya.
“Apa boleh buat,” ujarnya. “Paling tidak aku akan memastikan Maria tidak menekan tombol aneh di dalam pesawatmu ini.”
Mei memandangi Ryouta sejenak, kemudian tersenyum lembut.
“Kau sudah berubah ya,” ucap hologram Automa itu.
“Apanya?” balas Ryouta.
Mei menggelengkan kepala sambil mengamati sosok Ryouta dengan seksama.
“Terakhir kali kau datang ke sini, kau masih terlihat seperti mesin perang. Kaku dan menakutkan,” kata Mei sambil berjalan mundur. “Sekarang kau tampak lebih... manusiawi. Entah itu bagus atau tidak bagimu, tapi menurutku itu lebih baik.”
“Kurasa begitu,” ujar Ryouta singkat. “Terima kasih.”
Dia lalu memandang ke sekelilingnya dan menyadari kalau sosok Maria sudah menghilang dari pandangan.
“Aku tahu ke mana dia pergi.” Mei tahu-tahu bicara seolah dia tahu apa yang ada dalam pikiran Ryouta. “Aku akan menemuinya terlebih dahulu. Kau ikuti saja proyektorku, ya.”
Segera setelah mengatakan itu, sosok holografis Mei menghilang dan digantikan sebuah bola metalik yang melayang di udara. Ryouta mengangkat kedua bahunya, kemudian berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan bola metalik itu.

****

“Jadi, sebenarnya ini pesawat apa ya?”
Maria bertanya pada Mei yang melayang di dekatnya. Selama beberapa saat, Mei tampak memikirkan jawaban dari pertanyaan singkat itu.
“Bagaimana ya... boleh dibilang Ganymedes adalah kapal perang tercanggih dan terkuat pada masanya. Dengan kemampuan untuk melakukan Jump, kapal ini bisa menjangkau Mars dalam waktu singkat, atau menerjang tepat di tengah formasi lawan dengan persenjataan berat. Selain itu, dengan teknologi Star Core Engine, kapal ini dapat beroperasi selama puluhan tahun tanpa pengisian bahan bakar.” Mei menjawab sambil memandang ke ruangan luas tempatnya dan Maria berada saat ini. Ruangan itu dulunya adalah hanggar pesawat tempur yang dimiliki Ganymedes, namun kini tempat itu sama sekali kosong. “Pada masa perang dulu, kemunculan kapal ini di angkasa bisa membuat panik semua orang. Tapi sekarang... Ganymedes hanya sebuah kapal kuno yang terdampar di tengah reruntuhan kota.”
“Kenapa kau bisa terdampar di sini?” tanya Maria lagi.
Sejenak Mei terdiam melihat ekspresi wajah Maria yang tampak begitu tertarik mendengar ceritanya. Automa itu tidak menyangka kalau ada gynoid di Bravaga yang memiliki ekspresi sekuat itu. Padahal sebelumnya, robot-robot generasi baru di kota itu masih lebih mirip robot daripada manusia, tapi Maria sepertinya berbeda. Gynoid itu bahkan terlihat jauh lebih manusia dibandingkan dengan bekas manusia seperti Mei.
 “Aku tertembak jatuh saat melindungi peluncuran armada Starchild,” jawab Mei pada akhirnya. “Pada pertempuran itu, mesin anti-gravitasi, pendorong ion, dan sistem Jump Ganymedes, rusak parah. Itu sebabnya kapal ini tidak lagi bisa terbang dan terpaksa berada di tempat ini selama ratusan tahun.”
“Apa tubuhmu ini bisa diperbaiki lagi?” Maria kembali bertanya pada hologram tubuh Automa di hadapannya itu.
Mei mengangkat bahunya, “Mungkin,” sahutnya singkat. “Ngomong – ngomong, aku dengar kau suka sekali dengan sejarah ras kami?”
Maria mengangguk penuh semangat.
“Ya! Aku penasaran dengan kehidupan manusia di masa lalu, apa saja yang mereka lakukan sehari-hari, dan kenapa mereka punya kekuatan imajinasi yang tidak dimiliki oleh kami!” seru gynoid itu menggebu-gebu. “Pokoknya aku ingin tahu semua tentang mereka!”
Mei tersenyum lebar mendengar pernyataan Maria. Dia lalu bertanya pada gynoid itu.
“Hei, apa kau sudah pernah lihat seperti apa keadaan di luar bumi?”
Tentu saja pertanyaannya itu membuat kedua mata Maria semakin berbinar-binar.
“Eh?! Kau mau membawaku ke luar angkasa sana?!” tanyanya penuh semangat.
Pertanyaan itu langsung membuat Mei tertawa lepas. Selama beberapa saat, ruang hanggar yang luas itu dipenuhi suara tawa Automa yang terdengar begitu jernih itu.
“Maaf,” ujarnya setelah puas tertawa. “Sayangnya aku tidak bisa membawamu keluar dari planet ini. Sejak tertembak jatuh, mesin anti-gravitasi kapal ini belum juga selesai diperbaiki. Jadi mustahil kapal seberat dan sebesar ini bisa terbang ke luar angkasa.”
Ekspresi wajah Maria langsung berubah, jelas-jelas dia kecewa karena tadinya dia berharap kapal canggih ini bisa membawanya terbang jauh tinggi ke angkasa. Tapi di sisi lain, dia harus maklum. Sebab entah sudah berapa ratus tahun Ganymedes terdampar di tengah reruntuhan kota seperti ini.
“Ah... setidaknya aku bisa memperlihatkan rekaman-rekaman beberapa perjalananku sebelum aku jatuh ke sini. Apa kau mau lihat?”
Mei kembali bicara, dengan harapan bisa mengembalikan semangat Maria lagi. Dan tentu saja itu berhasil. Ekspresi wajah gynoid itu langsung terlihat cerah.
“Mau~!” serunya penuh semangat.
“Nah, kalau begitu, ikuti aku ya,” balas Mei sambil menahan tawa melihat tingkah Maria yang begitu kekanakan. Melihat tingkah Maria, Mei nyaris lupa kalau dia sedang bicara dengan sebuah gynoid canggih. Sebab, sekilas dia merasa sedang berbicara dengan Automa lain, atau bahkan... seorang gadis manusia. Keceriaan Maria mau tidak mau membuat Mei ikut merasa bersemangat juga.
Sambil berjalan menuju ke ruang tempat Mei akan melakukan pertunjukannya, Automa itu menjelaskan beberapa hal soal perjalanan luar angkasa pada masa lalu. Mulai dari awal manusia tergila-gila dengan luar angkasa berabad-abad silam, sampai pada perlombaan mencapai planet-planet terjauh di tata surya. Obsesi manusia akan penjelajahan juga menyebabkan mereka mulai meninggalkan bumi menuju planet terdekat, kemudian membangun koloni-koloni di luar angkasa. Pada mulanya, mereka mulai membangun kota kecil di bulan. Kemudian setelah teknologi Jump dan terraforming ditemukan, manusia mulai mengubah planet Mars dan membangun lebih banyak koloni lain di luar angkasa. Tidak lama kemudian, Mei bercerita soal ekspedisi ke tata surya lain untuk mencari tempat tinggal baru.
Sambil mendengarkan cerita Mei, Maria semakin kagum dengan hasrat manusia untuk menjelajah dan menemukan hal-hal baru. Bagi sebagian besar robot di Bravaga, penjelajahan bukanlah hal yang benar-benar diperlukan, bahkan itu adalah pekerjaan berbahaya. Oleh karena itu, hanya para Pengembara saja yang benar-benar melakukan perjalanan jauh keluar kota Bravaga. Selebihnya, para robot hanya pergi seperlunya ke tempat-tempat di sekitar kota itu. Bahkan Maria, Buggy, dan Ryouta, tidak pernah pergi terlalu jauh dari Bravaga. Mendengar cerita Mei membuat Maria merasa kalau perjalanan yang dilakukan Arslan dan para Pengembara, sama sekali bukan apa-apa bila dibandingkan dengan penjelajahan manusia di masa lalu.
“Kita sampai.”
Mei akhirnya berhenti di dalam sebuah ruangan luas berbentuk lingkaran, dengan atap berupa sebuah kubah yang dilapisi oleh lapisan berkilat seperti kaca. Ruangan itu juga dipenuhi dengan tempat duduk yang terlihat empuk dan nyaman, persis seperti ruangan bioskop yang pernah Maria lihat di dalam sebuah buku. Begitu puas mengamati sekiranya, gynoid itu menyadari kalau Ryouta sudah duduk di antara deretan bangku terdepan.
“Lama sekali,” gerutu android itu begitu melihat Maria masuk ke dalam ruangan.
“Hehe~! Maaf, aku keasyikan ngobrol dengan Mei,” ujar Maria sambil tersenyum nakal. “Ngomong-ngomong tempat apa ini? Apa ini bioskop?”
“Kurang lebih begitu.” Kali ini suara Mei terdengar bergema di dalam ruangan itu, namun sosok holografisnya sudah tidak terlihat lagi. “Nah, bersiaplah. Tidak lama lagi kalian akan terkagum-kagum dengan apa yang akan kuperlihatkan!”
“Aku jadi tidak sabar!” Maria berseru penuh semangat sambil berdiri.
“Duduk dan tenanglah,” tegur Ryouta yang duduk di sampingnya.
Maria langsung duduk kembali, tapi tidak terlalu lama. Tiba-tiba saja seluruh ruangan mendadak hilang dan digantikan pemandangan benda bulat yang bersinar biru di tengah-tengah kegelapan pekat. Benda itu terlihat begitu indah, anggun, mistis, namun pada saat yang sama terasa begitu familier bagi Maria. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyadari kalau benda biru itu adalah Bumi kalau dilihat dari luar angkasa!
“INDAHNYA~!!”
Tanpa sadar Maria langsung bersorak kegirangan sambil kembali berdiri. Dia memang pernah melihat gambar Bumi seperti ini di foto, buku, dan lukisan di Menara Memori. Dia juga pernah melihat langsung rekaman itu dalam sebuah video yang diberikan robot kenalannya di kota Bravaga. Namun menyaksikan sosok anggun planet yang menjadi tempat tinggalnya itu selalu membuat Maria kagum.
“Ini adalah gambaran Bumi sebelum masa Catastrophy,” ujar Mei melalui pengeras suara. “Sebelum bencana besar itu melanda, tempat kita tinggal adalah planet biru yang benar-benar indah.”
Sesaat kemudian tayangan holografis Bumi dan luar angkasa di sekeliling Maria dan Ryouta menghilang, digantikan oleh gambar bulan dan kota-kota koloni yang tampak memenuhi sebagian permukaannya. Satu persatu, Mei menampilkan tayangan berupa bagaimana peradaban manusia berhasil mencapai luar angkasa, bagaimana kondisi kota-kota di Bulan, benua-benua baru di Mars, dan koloni-koloni raksasa di luar angkasa. Dia juga memperlihatkan bagaimana manusia mulai mengembangkan teknologi pengerutan ruang-waktu, atau Jump, yang memungkinkan armada-armada mereka menjelajah area angkasa luar yang tidak pernah terjangkau sebelumnya.
Melihat semua tayangan yang ditunjukkan Mei, Maria semakin tidak habis pikir. Kenapa makhluk dengan kecerdasan dan kemampuan sungguh luar biasa seperti itu sampai bisa punah dari muka bumi? Padahal kalau melihat rekaman milik Mei itu, rasanya mustahil tidak ada manusia yang selamat dari Catastrophy, kecuali anak-anak yang terpaksa melarikan diri ke luar angkasa dalam armada Starchild.
“Mei, apa di planet lain seperti Mars masih ada manusia?”
Tiba-tiba Maria bertanya ketika Mei sedang menampilkan bagaimana manusia hidup di Mars yang telah mengalami proses terraforming. Mendengar itu, Mei menghentikan tayangan holografisnya dan kembali muncul di hadapan Maria dan Ryouta.
“Tidak,” jawab Mei singkat, sembari menggelengkan kepalanya. “Aku sudah mencoba berbagai cara untuk menghubungi siapa pun, yang mungkin masih tertinggal di koloni luar angkasa atau di Mars.”
Sejenak Mei terdiam sambil menutup matanya.
“Tapi seperti yang kau tahu... tidak ada manusia yang tersisa di tata surya ini. Beberapa Automa dan robot di luar sana yang berhasil kuhubungi, semuanya menyatakan bahwa manusia terakhir telah hilang dari tempat mereka ratusan tahun lalu. Tidak ada yang tersisa,” ujar Automa itu dengan lirih. “Aku tidak tahu apa sebenarnya terjadi waktu Catastrophy terjadi, dan aku tidak tahu kenapa manusia sejati sepenuhnya lenyap dari tata surya ini. Yang jelas kalau kau mencari manusia di sekitar tata surya... yang ada hanya bekas manusia, Automa – automa seperti ku. Manusia sejati yang bertubuh darah – daging benar-benar telah punah.”
Selama beberapa saat, ruang proyeksi holografis itu menjadi sunyi. Atmosfer kesedihan terasa begitu pekat, sebab ada dua sosok kuno di ruangan itu yang sama-sama merasa paling kehilangan dengan punahnya manusia. Mereka adalah Ryouta dan Mei. Keduanya adalah generasi yang lahir pada saat manusia masih menjadi menguasai Bumi dan sekitarnya.
“Masih ada!” Suara seruan Maria membuyarkan kesunyian yang menyelimuti ruang proyeksi holografis Ganymedes. “Anak-anak di armada Starchild. Kalau mereka pulang, bukannya itu berarti Bumi akan dihuni oleh manusia lagi? Bukannya itu berarti kita bisa melihat manusia lagi?”
Selama sejenak Ryouta dan Mei saling pandang. Keduanya terlibat dalam pertempuran dahsyat yang terjadi di hari peluncuran armada Starchild. Di sanalah Ryouta mengalami kerusakan parah dan sempat ‘mati’, sementara Mei tertembak jatuh saat melindungi armada Starchild dari serbuan beberapa Machina.
“Aku tidak tahu bagaimana nasib mereka sekarang. Sudah lebih dari 200 tahun berlalu sejak aku mendapatkan pesan dari armada itu. Aku bahkan sudah tidak tahu lagi apakah mereka bisa sampai dengan selamat ke planet – planet tujuan mereka,” ujar Mei. Dia lalu memandang ke sekeliling ruang bioskop holografisnya. “Sudah ratusan tahun aku memperbaiki tubuhku, tapi entah sampai kapan aku harus terus berusaha. Rasanya ini sia-sia saja... toh biar bagaimanapun, aku tetap tidak bisa mengejar armada Starchild yang telah berkelana selama ratusan tahun. Mereka benar-benar sudah pergi jauh ke tempat yang tidak akan bisa kujangkau sama sekali.”
“Aku percaya anak-anak proyek Starchild suatu saat akan kembali ke Bumi!”
Suara Maria dengan seketika merobek kesunyian yang menggantung di udara. Gynoid itu bergantian memandang ke arah Ryouta dan Mei, dua sosok kuno yang sama-sama memiliki sejarah masa lalu yang kelam.
“Aku tidak tahu ke mana mereka pergi dan sampai mana mereka sekarang ini. Tapi aku yakin mereka baik-baik saja. Toh mereka dilindungi oleh kapal-kapal pelindung lain yang sama hebatnya dengan Ganymedes,” ujarnya Maria sambil menyunggingkan senyuman khasnya. “Yang perlu dilakukan sekarang hanya menunggu. Tidak peduli berapa lama, kurasa kau bisa menunggu mereka kembali. Toh dengan tubuhmu yang sekarang ini, beberapa ratus tahun menunggu rasanya sih enggak jadi masalah.”
Mei dan Ryouta saling pandang, kemudian keduanya tertawa lepas. Maria bingung dengan reaksi mereka berdua, namun dia senang karena Mei dan Ryouta sudah tidak tampak sedih lagi. Ryouta tiba-tiba menepuk lembut kepala Maria, membuat gynoid itu langsung tersenyum lebar. Seperti biasanya, sifat positif Maria berhasil mencerahkan suasana yang barusan sempat terasa suram dan menyedihkan.
“Maria benar,” ujarnya. “Aku juga percaya suatu hari nanti anak-anak itu akan pulang. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya menunggu, sambil berusaha mengembalikan kondisi planet ini.”
Mei tersenyum lembut mendengar ucapan Ryouta. Selama beberapa saat, dia nyaris lupa kalau sosok yang berdiri di hadapannya itu adalah robot. Sejenak, Ryouta terdengar begitu mirip manusia, hingga Mei merasa dia sedang berhadapan dengan sesama manusia.
“Kau benar,” ujar Mei, masih sambil tersenyum pada Ryouta. “Aku akan terus menunggu mereka sampai kapan pun. Aku tidak peduli berapa lama aku harus menunggu. Yang jelas, aku percaya mereka semua baik-baik saja dan suatu saat akan kembali ke rumahnya, ke sini, ke planet kelahiran mereka ini.”
“Dan tentu saja aku akan ikut menemani kalian berdua menunggu kepulangan anak-anak itu~!” timpal Maria sambil nyengir lebar. “Sampai kapan pun!”
Mei memandangi sepasang android dan gynoid yang berdiri di hadapannya. Meskipun manusia sejati telah lama punah, namun generasi penerus mereka masih bertahan hidup dan merawat Bumi. Robot-robot seperti Maria dan Ryouta inilah yang nantinya juga akan menyambut anak-anak Starchild ketika mereka pulang ke rumah. Meskipun masih terdapat keraguan dalam dirinya, Mei kembali merasa yakin kalau suatu hari nanti keturunan dari anak-anak bintang itu akan kembali ke planet kelahiran mereka.  


Jika saat itu tiba, Mei bertekad untuk memberikan sambutan hangat pada mereka sembari berkata:
“Selamat datang kembali, anak-anak bumi.”

****
~FIN?~
red_rackham 2014

Comments