Posts

Showing posts from 2015

8th Spiral: Blind Vision

Pertama kalinya aku bertemu dengan nenek tua itu adalah di sebuah persimpangan jalan protokol yang membelah jantung kota Jakarta. Tidak ada yang istimewa dari nenek itu, kecuali fakta bahwa dia buta. Sebelah tangan nenek itu tampak memegangi tongkat kayu belang warna merah dan putih. Kedua matanya tertutup selagi dia berjalan. Sesekali dia diam dan sekilas terlihat seperti sedang mengamati keadaan sekelilingnya dengan kedua telinganya. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang dilakukan nenek itu, tapi sedetik kemudian perhatianku teralih sepenuhnya. Soalnya nenek tuna netra itu baru saja berniat menyeberangi salah satu jalanan paling padat kendaraan di kota Jakarta! “AWAS!” Tanpa pikir panjang, aku berlari menghampiri nenek itu dan mencengkeram kedua bahunya, kemudian menariknya mundur, tepat sebelum si nenek tersambar oleh sebuah mobil mewah yang melintas dengan kecepatan tinggi. Sepintas aku mendengar suara sumpah serapah dilontarkan dari jendela mobil yan

7th Spiral: Kingdom of Cats

Konon katanya kucing itu kalau hidup terlalu lama, dia akan berubah jadi siluman. Yah ... setidaknya itu kata orang Jepang sih. Sejujurnya aku tidak pernah ambil pusing soal itu. Setidaknya tidak sampai aku benar-benar mengetahui kalau ungkapan itu bukan cuma omong kosong belaka. Pagi itu seperti biasanya aku pergi ke kantor, kemudian meluncur kembali ke jalanan padat kota Jakarta untuk mengantar paket-paket klienku. Setelah berkutat dengan kegilaan dan kengerian lalu lintas kota, sorenya aku pulang ke rumah. Tapi tidak seperti biasanya, sewaktu aku melintasi jalan yang biasa kulalui, aku menyadari ada sesuatu yang lain. Tepat di tengah jalan, aku melihat seekor kucing tergolek lemas. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya dia baru saja ditabrak oleh kendaraan yang melintas di jalanan. Dari kondisinya, lukanya sih tidak terlihat parah, tapi kucing itu tidak bisa bergerak. Entah karena syok, atau memang ada luka dalam yang tidak terlihat dari luar. Yak. Aku tahu t

6th Spiral: Lady of The Trees

Setiap kali aku melihat jalan protokol yang menjadi halaman depan kota Jakarta, aku tidak pernah berhenti untuk merasa takjub dengan pemandangan yang kulihat. Deretan gedung-gedung tinggi berdiri kokoh menentang langit, seolah-olah benar-benar ingin menggapai awan jauh di atas sana. Jalanan lebar yang tidak pernah lengang dari berbagai jenis kendaraan yang melintas, dan tidak jarang, berhenti total selama berjam-jam karena kepadatan lalu lintas yang luar biasa. Kalau terus berjalan menyusuri jalanan ini, aku pasti akan sampai ke sebuah tanah lapang yang dihiasi sebuah monumen dengan puncak emas. Monas. Salah satu ikon ibukota negara ini. Di hari-hari biasa, tempat itu tidak terlalu ramai dikunjungi orang. Tapi begitu memasuki akhir pekan atau hari libur nasional, bisa ratusan orang tiba-tiba tumpah ruah memadati lapangan itu. Aku pun demikian. Hampir setiap akhir pekan aku datang ke lapangan Monas untuk berolahraga, kemudian duduk-duduk santai menyaksikan keramaian di seki

5th Spiral: Midnight Ship

Kata orang hujan itu membawa berkah. Kurasa sih begitu ... kalau turunnya di tempat lain, bukan di Jakarta. Di kota Megapolitan ini hujan lebat selama beberapa jam berturut-turut tidak pernah gagal membawa masalah. Air yang tumpah dari langit, tidak bisa lagi ditahan oleh aliran sungai yang menyempit dan tergusur oleh megahnya bangunan-bangunan kota Jakarta. Lahan-lahan hijau yang dulunya berfungsi bagaikan spons, kini sudah tertutup oleh lapisan aspal dan beton tebal. Pohon-pohon yang dengan senang hati menyerap kelebihan air, sudah lama sekali hilang dan digantikan oleh gedung-gedung pencakar langit. Tentu saja akibatnya sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Banjir. Hampir setiap beberapa tahun sekali Jakarta selalu lumpuh akibat banjir yang melanda sebagian besar wilayahnya. Genangan air yang bertahan berhari-hari di berbagai sudut kota seolah mengingatkan penduduknya akan wujud asli kota ini sebelum manusia datang. Aliran sungai-sungai yang telah lama hilang dan terlupa

Extra Adventure II: Piece of Memory

Sejauh mata memandang, yang bisa dilihat Celes hanyalah deretan pepohonan dan semak belukar yang tumbuh lebat di antara reruntuhan bangunan. Kedua matanya yang berwarna keemasan dengan seksama meneliti kondisi sekitarnya, sementara kedua telinganya yang tajam selalu siaga untuk mendeteksi bahaya yang mendekat. Wajar saja dia bersikap siaga, sebab di dalam hutan reruntuhan kota semacam ini, sering kali berdiam makhluk-makhluk buas yang muncul sebagai efek samping Catastrophy yang terjadi lebih dari 600 tahun lalu. Sejak bencana misterius itu terjadi, dunia yang dikenal Celes berubah drastis. Manusia yang dulu menguasai Bumi, kini musnah tanpa sebab yang jelas. Tidak banyak yang tersisa dari mereka, kecuali bekas-bekas kejayaan mereka di masa lalu. Beberapa bekas kejayaan itu tetap hidup dan membuat sebuah kota besar di sisi lain benua ini. Sisanya hidup tersebar sebagai mutan dan robot liar yang berbahaya. “Ketemu enggak?” Celes menoleh ke arah gadis kecil bertelinga dan be

Everyday Adventure X

Everyday Adventure X (Sahabat) Buggy merayap melintasi jaringan pipa-pipa logam yang terbentang sepanjang puluhan kilometer di bawah kota Bravaga. Robot dengan wujud mirip kecoa raksasa itu sesekali berhenti dan memeriksa kondisi kabel serat optik yang berada tepat di tengah pipa logam yang sedang dia jelajahi. Beberapa kali dia juga sempat memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil yang mulai terlihat di jaringan kabel yang sudah berumur ratusan tahun itu. Sebagai robot yang dirancang untuk melakukan perbaikan di area yang sulit dijangkau robot lainnya, setiap beberapa hari sekali Buggy dan teman-temannya melakukan penjelajahan menembus labirin pipa dan terowongan di bawah kota Bravaga. Meskipun tugasnya terkesan sepele, tapi kerusakan-kerusakan kecil di jaringan pipa seperti ini dapat berakibat fatal. Bayangkan saja bila kerusakan itu terjadi di jaringan pipa energi. Kalau tidak segera diperbaiki, bisa-bisa kerusakan kecil itu kelak akan menimbulkan masalah besar. “Buggy, su

4th Spiral: Forgotten Scenery

“Jadi kau bilang kalau ikan peliharaanmu bisa bicara?” “Yap.” “Dan kau melihat pemandangan alam kota Bekasi sebelum jadi pemukiman padat penduduk seperti ini?” “Yap.” “Dan kau pikir kau masih waras?” “Tentu saja. Kalau tidak aku pasti sudah berkeliaran bersama puluhan pasien sakit jiwa lainnya di RSJ sana.” “Orang gila biasanya tidak merasa kalau dia gila kan?” Aku menepuk pundak pria berambut cepak di sampingku. Namanya Irvan dan kami berdua bekerja di bawah perusahaan yang sama, perusahaan kurir kilat khusus yang beroperasi di sekitar kota Jakarta. Aku mengenalnya sejak pertama kali aku bekerja di perusahaan, dan itu tiga tahun yang lalu. Dan sejauh yang kutahu, Irvan adalah orang yang masih mau mendengarkan ceritaku dengan (agak) sedikit sabar ... meskipun dia tidak pernah berhenti mempertanyakan tingkat kewarasanku. Seperti sekarang misalnya. “Aku yakin aku tidak bermimpi. Dan kau boleh lihat ikan hitam yang kuterima dari kakek misterius di pinggiran BKT wakt

3rd Spiral: Beyond The Coffee Taste

Sore hari. Matahari baru saja terbenam dan hari pun mulai gelap, namun itu semua tidak menghentikan derap kehidupan yang nyaris tanpa henti di kota Jakarta. Teriknya sinar matahari yang telah menghilang, dengan sigap telah digantikan oleh gemerlap lampu-lampu kota yang terkadang kelewat terang, hingga mengalahkan cahaya dingin bulan purnama di atas sana. Itu belum ditambah dengan sinar lampu ratusan –kalau tidak ribuan– kendaraan yang terjebak macet di hampir sebagian besar jalanan ibukota. Bagaikan barisan kunang-kunang, kendaraan dengan berbagai jenis memadati jalanan dan bergerak perlahan, nyaris dengan ritme lambat yang teratur. Rush hour kedua. Saat di mana warga yang sebagian besar tinggal di kota-kota satelit sekitar Jakarta, berjuang untuk bisa kembali ke rumah masing-masing sebelum larut malam. Saat di mana banyak dari mereka harus menempuh berjam-jam perjalanan penuh kemacetan sebelum akhirnya bisa kembali ke rumah masing-masing. Biasanya sih aku juga jadi bagia

Everyday Adventure IX

Everyday Adventure IX (Penjelajah Angkasa) Central Tower tetap saja terlihat begitu megah, tidak peduli berapa kali pun Maria melihatnya. Apalagi bila dilihat dari dekat, menara yang tingginya serasa menjangkau langit itu tampak begitu luar biasa. Itu belum ditambah fakta bahwa sebenarnya isi menara itu adalah sebuah pabrik robot yang sangat kompleks dan canggih, sehingga mampu menciptakan robot berteknologi cyber-brain dalam waktu singkat. Sambil menarik nafas dan tersenyum lebar, Maria melangkahkan kaki memasuki Central Tower. Dengan segera dia disambut oleh ruangan luas berbentuk lingkaran yang merupakan lobi depan menara itu. Seperti biasanya, ruangan itu dipenuhi beberapa robot yang ingin mendapatkan perawatan, atau penggantian suku cadang oleh Mother. Meskipun sebenarnya saat ini sudah cukup banyak robot ahli reparasi di kota Bravaga, sebagian besar robot generasi lama masih bergantung pada perawatan dari Mother, terutama mereka yang dibuat pada era sebelum Catastro

2nd Spiral: Old Man on The River Bank

Matahari bersinar terik dengan sepenuh tenaga, seolah-olah sedang berusaha memanggang apapun yang berada di bawahnya. Udara panas bergelombang menghiasi jalanan kota Jakarta yang dilalui berbagai kendaraan bermotor tanpa henti. Meskipun demikian, frekuensi kendaraan yang melintas tampak lebih rendah dari biasanya. Kemacetan yang biasanya mengular di hampir sebagian besar jalanan protokol ibukota negara itu, siang ini tidak banyak terlihat. Salahkan serangan udara panas yang baru-baru ini melanda Indonesia. Konon katanya sih karena efek pemanasan global atau semacamnya. Yang jelas hanya orang gila yang mau keluar di jalanan kota Jakarta yang sedang panas membara seperti sekarang ini. Sialnya aku termasuk dalam golongan orang gila itu. Sembari terengah-engah karena kepanasan, aku memacu motorku melintasi jalanan yang cukup sepi untuk ukuran kota metropolitan seperti Jakarta. Tentu saja sepi, sebab sebagian orang yang lebih waras akan memilih untuk berteduh sampai udara panas s

1st Spiral: Road To Nowhere

Sama seperti hari-hari biasanya, hari ini pun aku berkendara melewati jalanan padat merayap yang begitu akrab bagiku. Saking akrabnya, aku sampai yakin kalau aku bisa melewatinya dengan mata tertutup. Yah... sebenarnya tidak sampai segitu juga sih. Soalnya begitu aku melakukannya, pastinya aku akan segera menabrak sesuatu, atau tertabrak sesuatu. Dan aku tidak cukup berani –atau gila– untuk mencoba mengendarai motor dengan mata tertutup di tengah jalanan kota metropolitan seperti ini. Itu sama saja meminta malaikat maut buru-buru turun dari langit dan mencabut nyawaku. Sore itu situasi jalanan sama seperti sebelumnya. Macet. Mobil, motor, truk, bis, sepeda, becak, semuanya berdesakan dalam satu alur jalanan yang sama. Semuanya terlihat dipaksa untuk berada dalam situasi yang sama. Ada berbagai ekspresi yang bisa kulihat di wajah-wajah mereka. Lelah, gembira, jengkel, sedih, sampai yang membiarkan emosinya hilang ditelan asap kendaraan yang menggantung di udara. K