11th Spiral: End of Dream



“Kalau kau membaca surat ini, itu artinya kau tahu ini adalah saat yang tepat untuk membaca pesan terakhir, sekaligus satu-satunya bantuan yang bisa kuberikan untuk membalas jasa-jasamu. Tidak perlu bersedih atau merasa bersalah. Saat pertama kali aku bertemu denganmu, aku tahu kalau akhir hidupku sudah dekat dan aku tahu kau akan membutuhkan bantuanku di saat aku sudah tidak lagi bisa membantumu secara langsung.
Saat ini kau pasti sedang bingung karena tiba-tiba saja kau terbangun dan mendapati dirimu sedang berdiri di peron kereta api yang berada di tengah hutan rimba. Tidak perlu takut. Tidak lama setelah kau selesai membaca pesanku, sebuah kereta uap akan datang dan menawarkan tumpangan. Berikan karcis yang ada di saku kanan celanamu kepada sang kondektur, kemudian naiklah ke dalam kereta, lalu kau akan sampai di tempat tujuanmu selanjutnya.
Aku tahu ini membingungkan. Aku tahu kau juga ketakutan. Tapi percayalah, kau tidak pernah sendirian dan bantuan akan datang pada saatnya nanti. Tapi untuk saat ini, menolehlah ke kiri, dan kau akan mendapati kereta yang akan kau tumpangi sudah tiba.”
Aku berhenti membaca, kemudian menoleh ke kiri. Tepat seperti yang tertulis di surat aneh yang sedang kubaca ini, sebuah kereta yang ditarik oleh lokomotif uap kuno melaju cepat menghampiri peron kereta tempatku berdiri sekarang. Asap putih tebal mengepul dari dua cerobong asap, sementara suara deru nyaring terdengar mengiringi lajunya. Sekilas pandang, kereta api kuno itu terlihat begitu menakjubkan, apalagi karena dia melaju di atas rel yang diapit oleh pepohonan dan semak belukar.
“Yang benar saja ...”
Dengan diiringi suara berderit nyaring yang menyakitkan telinga, kereta api kuno itu berhenti di depan peron stasiun tempatku berdiri. Dari dekat, kendaraan tua ini terlihat lebih menakjubkan, sekaligus menakutkan.
Selama beberapa saat aku memandangi lokomotif dan gerbong yang sepertinya berasal dari jaman perang dunia kedua itu. Sepintas rasanya tidak ada yang aneh dengan kereta kuno ini, kecuali fakta bahwa tidak ada seorang pun di dalamnya. Gerbong-gerbong dan juga ruang masinisnya kosong. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di dalam kereta antik ini. Meskipun demikian, seluruh bagian kereta api yang menunggu dengan sabar di depanku ini tampak bersih dan sangat terawat.
Aku menelan ludahku.
Tentu saja sebagai orang normal yang masih waras, aku tidak mau naik ke atas kereta hantu yang entah muncul dari mana dan entah akan ke mana ini. Tapi kalau mengingat satu-satunya petunjuk yang kupunya menyuruhku untuk naik kereta ini, aku tidak punya pilihan lain. Lagi pula aku bisa mempercayai petunjuk yang dulu kuterima dari cucu seorang nenek berpenglihatan gaib. Rasanya tidak akan mencelakakanku dengan petunjuknya.
Sambil berharap ini tidak akan berakhir buruk, aku melangkahkan kaki memasuki salah satu gerbong yang berada di tengah rangkaian. Namun begitu aku naik, semuanya berubah dalam sekejap mata.

Gerbong yang tadinya terlihat kosong dari luar, ternyata penuh dengan penumpang.
Masalahnya hanya satu ... mereka semua bukan manusia.
Semua penumpang yang duduk dengan diam di dalam gerbong kereta adalah makhluk-makhluk semi-transparan dengan dua mata bulat mungil, dan cengiran permanen di wajahnya. Begitu aku masuk, secara serempak mereka semua langsung menoleh ke arahku. Seketika itu juga, jantungku langsung berdetak sangat kencang.
“Eh ... kayaknya aku salah gerbong ... maaf mengganggu ...”
Aku bergumam dan bermaksud untuk melangkah turun, tapi ternyata di belakangku sudah ada makhluk bayangan lain yang setengah jalan memasuki gerbong kereta. Kedua matanya yang bulat dan berwarna merah terlihat memandangiku dengan tatapan bingung.
Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu kalau makhluk itu bingung, pokoknya itu yang kurasakan ketika aku memandang ke dalam dua bola mata mungil di kepalanya.
“Eh, maaf ...”
Buru-buru aku melangkah ke samping dan membiarkan sosok semi-transparan itu bergeser masuk dan menempati salah satu kursi penumpang yang masih kosong. Begitu duduk, tiba-tiba dia memutar tubuh, memandang ke arahku, dan mengembangkan cengiran lebar persis seperti yang lainnya.
Seketika itu juga bulu kudukku berdiri semua.
Sialnya saat aku baru bermaksud untuk turun, sesosok makhluk tinggi besar yang mengenakan pakaian kondektur melangkah masuk ke dalam gerbong. Sama seperti yang lainnya, kondektur ini juga makhluk semi-transparan dengan dua mata mungil, tapi tanpa cengiran lebar di wajahnya.
Tanpa bicara apapun, kondektur itu menyodorkan telapak tangannya yang berselimut sarung tangan tebal berwarna putih. Sementara tangan satunya lagi menunjukkan perforator, atau alat pembolong kertas, yang biasa dipakai kondektur kereta untuk menandai tiket penumpangnya.
Melihat itu aku langsung meraba kantong celanaku dan mengeluarkan secarik kertas tebal berwarna kuning kusam dengan tulisan aneh yang tidak bisa kubaca. Sepertinya ini adalah karcis kereta yang dimaksud dalam surat yang tadi kubaca selagi menunggu di peron.
Sekali lagi jangan tanya kenapa aku punya tiket naik kereta misterius ini.
Soalnya aku sendiri tidak tahu.
Masih tanpa mengatakan apapun, atau memang dia tidak bisa bicara, sang kondektur mengambil tiket dari tanganku, melubangi salah satu ujungnya, kemudian menyerahkannya kembali kepadaku. Dia lalu menunjuk ke arah kursi kosong di ujung gerbong dan mengisyaratkan agar aku duduk.
Karena sudah tidak punya pilihan lagi, aku akhirnya menurut dan duduk dengan tenang di kursi yang telah disediakan untukku. Begitu aku duduk, suara peluit kereta yang panjang dan nyaring langsung terdengar diiringi dengan suara desis dan derak logam saling beradu. Perlahan tapi pasti, kereta api kuno yang kutumpangi ini pun mulai bergerak meninggalkan stasiun tengah hutan. Deru uap bercampur asap hasil pembakaran batu bara langsung menghiasi setiap gerak piston lokomotif, selagi mesin tua itu berjuang menarik beban berat yang terkait di belakangnya.
Begitu kereta mulai bergerak, aku menyadari kalau semua penumpang yang lain sekarang sudah berhenti memandangiku. Kini mereka semua telah beralih memandang ke luar jendela. Entah apa alasannya.
Karena penasaran, aku ikut menoleh ke luar jendela dan langsung terbelalak kaget.
Kenapa?
Soalnya aku melihat diriku yang lain sedang berdiri di peron sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arahku.

****
Selagi kereta api kuno yang kutumpangi melaju di atas rel yang membelah kerimbunan hutan, kepalaku dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Sekilas aku membaca lagi isi surat yang berisi petunjuk untuk menaiki kereta ini. Tapi sayangnya tidak ada petunjuk lain yang tertulis di selembar kertas putih itu. Sama sekali tidak ada apapun yang bisa menjawab alasan kenapa aku sampai di tempat ini, kenapa aku harus naik kereta ini, dan ke mana arah tujuan kereta aneh ini.
“Ini tidak masuk akal!”
Aku berseru protes pada diriku sendiri sambil bersandar ke sandaran kursi di belakang punggungku.
“Tidak ada yang tidak masuk akal, nak.”
Tiba-tiba saja aku mendengar suara yang terasa begitu akrab, meskipun aku hanya pernah mendengarnya sekali. Seketika itu juga aku menoleh ke samping dan melihat sosok pria tua berambut putih yang mengenakan setelan jas lengkap. Penampilannya saat ini sangat berbeda dengan yang waktu itu, tapi tidak salah lagi, kakek tua yang berdiri di sampingku ini tidak lain adalah pemancing misterius yang kutemui di Kanal Banjir Timur.
“Kita ketemu lagi ya, nak,” ujar kakek itu sambil duduk di depanku. “Bagaimana kabarmu?”
Aku langsung menghela nafas lega. Aku sadar kalau aku bahkan tidak benar-benar tahu siapa kakek ini, tapi bertemu dengan sosok yang aku kenal setidaknya membuatku jadi lebih rileks.
“Baik,” ujarku singkat. “Sebenarnya ini kereta apa? Ke mana tujuan kereta ini? Dan kenapa aku bisa sampai di peron di tengah hutan tadi?”
Tanpa banyak basa-basi, aku langsung mengutarakan tiga pertanyaan utama yang sejak tadi menolak untuk pergi dari benakku. Aku tahu ini tidak sopan, tapi kesopanan bukan sesuatu yang perlu kuperdulikan ... setidaknya untuk saat ini.
Untungnya kakek pemancing di hadapanku ini tidak tersinggung dengan sikapku yang agak kurang sopan. Sambil memperlihatkan senyuman yang menambah kerutan di wajahnya, sang kakek menjawab pertanyaanku dengan suara lembut.
“Kau tidak perlu khawatir soal itu, nikmati saja perjalanannya.”
Jawaban itu spontan membuatku terkejut. Betapa tidak? Aku benar-benar berharap kakek ini bisa menjawab setidaknya satu-dua pertanyaan yang menggangguku sejak tadi.
“Terkadang ada saatnya kita tidak perlu banyak bertanya dan sekedar menikmati proses yang sedang terjadi,” ujarnya lagi. Dia lalu memperagakan gerakan seperti orang melempar kail dengan kedua tangannya. “Bukannya waktu memancing juga seperti itu?”
Aku terdiam karena teringat pengalaman anehku waktu memancing bersama kakek tua ini. Waktu itu aku tidak banyak bertanya-tanya dan sekedar menikmati pengalaman ganjil yang kualami di salah satu sungai terbesar di kota Jakarta itu. Tapi masalahnya fenomena aneh yang sekarang ini sedang kualami berbeda dengan yang waktu itu.
“Aku tahu kau tidak setuju dengan ucapanku, nak.” Sang kakek pemancing bicara lagi, seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. “Tapi bersabarlah, sama seperti memancing, terkadang yang perlu kau lakukan hanyalah menunggu dan bersabar.”
Sebenarnya sih aku tidak mau bersabar dan menunggu sampai kereta ajaib ini berhenti di suatu tempat. Tapi sekarang ini aku tidak punya pilihan lain selain duduk diam dan mengamati perkembangan situasi.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar ikan yang kuberikan waktu itu, nak?”
Si kakek kembali bertanya dan berusaha mengalihkan perhatianku dari rentetan kejadian aneh yang sedang kualami ini. Kali ini aku memaksakan senyum ketika mengingat sosok ikan kecil berwarna hitam yang berenang-renang dalam akuarium di rumah kontrakanku. Kemudian aku juga teringat kilat kecerdasan tidak lazim di mata ikan itu, serta suaranya yang terkadang bergema dalam benakku.
“Oh, dia sehat-sehat saja,” jawabku. “Aku sudah berusaha merawatnya sebaik mungkin. Yah, kadang aku bisa dengar dia protes kalau kuberikan makanan yang tidak sesuai dengan seleranya. Ah, aku juga memelihara seekor kucing. Tapi tidak usah khawatir, entah kenapa kucingku itu enggan dekat-dekat dengan ikan yang kakek berikan padaku itu.”
Si kakek tertawa pelan mendengar penjelasanku.
“Tidak heran,” ujarnya. Dia lalu menoleh ke arah jendela sejenak, kemudian kembali memandang ke arahku. “Nah. Sebentar lagi kau akan sampai di tempat tujuanmu. Turunlah di stasiun berikutnya, lalu kau akan tahu tujuanmu yang selanjutnya.”
Aku baru saja ingin menanggapi perkataan kakek pemancing itu, ketika tiba-tiba saja aku mendengar suara peluit kereta bersiul panjang dan nyaring. Nyaris pada saat yang hampir bersamaan, aku merasakan kesadaranku mulai hilang. Tidak peduli sekuat apapun aku berusaha untuk bertahan, tapi rasanya seperti ada yang menurunkan tirai secara perlahan di depan mataku.
Pikiranku sudah nyaris sepenuhnya diselimuti kabut ketika kelopak mataku akhirnya tertutup. Namun sebelum kesadaranku benar-benar hilang, aku bisa mendengar kakek pemancing misterius di hadapanku itu mengatakan sesuatu.
“Tidak usah khawatir, nak. Sebentar lagi semuanya akan berakhir kok, lalu kamu pun akan paham maksud dari semua ini. Tapi untuk saat ini, istirahatlah yang tenang.”
Bersamaan dengan berakhirnya ucapan kakek itu, berakhir pula kesadaranku.

****

Ketika aku membuka mataku lagi, kali ini aku sudah berada di sebuah peron stasiun tua yang berada di tengah-tengah padang rumput luas yang tanpa batas. Sejauh mata memandang, hanya ada padang hijau dan sebuah jalanan lurus yang mengarah entah ke mana.
Namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku merasa lega dan tidak lagi kebingungan ataupun kesepian. Sebab sebuah motor tua berwarna hitam yang begitu akrab bagiku sudah terparkir di depan stasiun. Tubuhnya yang ramping dan bercat kusam entah kenapa kali ini terlihat begitu menawan di tengah terik sinar matahari yang menimpanya.
Tanpa menunda-nunda lagi, aku langsung berlari menuruni peron stasiun dan menghampiri motor hitam itu.
Tidak salah lagi!
Ini partnerku! 
Aku mengenali jok kulit dengan hiasan pola tribal biru, berbagai goresan dan cacat di sekujur tubuhnya, serta beberapa penyok di knalpotnya. Selain itu tentu saja aku mengingat nomor polisi dan pelat hitam yang bentuknya sudah tidak karuan dan harus segera diganti dengan yang baru itu.
“Halo partner. Sedang apa kau di sini?”
Aku bertanya pada motorku, yang tentu saja tidak bisa menjawab pertanyaanku. Yah, walau sekarang ini sebenarnya aku juga tidak akan kaget kalau motor tua itu tahu-tahu bisa bicara. Malah sejujurnya aneh aku berharap dia tiba-tiba saja mengucapkan sesuatu.
Tapi karena tidak ada yang terjadi, aku akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku masih tidak tahu aku harus ke mana, tapi sepertinya satu-satunya jalanan yang harus kulalui saat ini adalah jalanan lurus yang membelah padang rumput tanpa ujung ini.
Sambil menghela nafas panjang, aku naik ke atas motorku dan mulai melaju perlahan.
Tiba-tiba saja aku teringat dengan jalanan tanpa ujung yang juga membelah kerimbunan semacam ini. Bedanya jalanan yang dulu kulalui bersama seorang pengendara misterius berada di tengah-tengah sawah yang padinya tengah menguning.
Kalau diingat-ingat lagi, rasanya sudah lama sekali yang sejak aku mengalami peristiwa itu.
Terkadang ingatan manusia itu memang aneh.
Di satu sisi aku mudah sekali lupa dengan detail kejadian yang baru saja terjadi, tapi terkadang ingatan yang begitu rinci akan fenomena yang telah lama berlalu, bisa begitu saja kuingat dengan sangat jelas. Seolah-olah kejadian itu baru saja terjadi beberapa saat yang lalu.
Tapi sekarang ini bukan saatnya bernostalgia, soalnya yang penting sekarang adalah pergi dari tempat aneh ini. Aku lalu memandang ke depan, ke arah jalanan panjang tanpa ujung yang membentang lurus membelah padang rumput di sekitarku. Sama sekali tidak ada petunjuk jalan sama sekali, yang ada hanya jalanan lurus hingga ke ujung cakrawala di depan sana.
Meskipun aku masih tidak tahu ke mana jalan ini menuju, tapi setidaknya sekarang aku tidak lagi sendirian.
Ada partnerku yang selalu setia menemaniku ke mana pun aku pergi.
“Aku tidak tahu jalanan ini akan berakhir sampai ke mana,” ujarku sambil mengelus pelan panel indikator di setang kemudinya. “Tapi aku senang kau ada di sini.”

****

Aku menghela nafas panjang sambil memandang ke arah sungai lebar yang membentang di hadapanku. Saking lebarnya, aku sampai tidak bisa melihat seberang dari sungai ini. Antara sungai ini memang sangat lebar, atau karena pandanganku terhalang oleh kabut tipis yang sedari tadi menggantung di sekitarku. Yang jelas, jalanan panjang yang rasanya nyaris tanpa ujung tadi telah membawaku, dan partner setiaku, sampai ke tempat ini.
Masalahnya sekarang tidak ada orang atau benda apa pun yang bisa kujadikan petunjuk.
“Baiklah ... sekarang aku harus apa?”
Untuk ke sekian kalinya, aku membuka amplop surat yang dulu kudapatkan dari nenek aneh yang bisa melihat detail kehidupan orang. Sayangnya tidak ada petunjuk apa pun selain soal tiket dan kereta api yang tadi sudah kutumpangi. Tadinya aku berharap akan ada petunjuk lain, yang secara ajaib, muncul dan memberitahuku langkah selanjutnya.
Sayangnya harapanku itu tidak terkabul, dan sekarang aku terjebak di pinggiran sungai lebar berkabut, tanpa tahu harus melakukan apa lagi.
Sejenak aku melirik ke arah langit dan menyadari kalau matahari sudah hampir terbenam, dan itu membuat urusanku jadi semakin rumit saja. Aku sama sekali tidak mau terjebak kegelapan malam di tempat semacam ini. Soalnya aku tidak mau memikirkan makhluk aneh semacam apa yang tinggal di balik kegelapan tempat menakutkan ini.
“Ayolah! Siapa pun! Keluarlah!”
Putus asa, aku berseru sekuat tenaga ke arah sungai yang mengalir tenang di hadapanku, berharap akan ada seseorang –atau bahkan sesuatu– yang muncul dan membantuku. Sayang sekali suara yang bisa kudengar dari sekitarku hanyalah suara air mengalir, serta suara derum pelan mesin motor yang sengaja tidak kumatikan dari tadi.  
Oh. Ini sama sekali tidak bagus ...
Kekhawatiranku mulai memuncak lagi. Soalnya saat ini matahari sudah benar-benar terbenam dan kegelapan sudah turun menyelimuti dunia di sekitarku. Satu-satunya sumber cahaya yang ada hanyalah dari lampu depan motorku, yang masih menyorot ke arah sungai yang mengalir di hadapanku. Dalam kegelapan pekat seperti ini, aliran air sungai yang ada di depanku itu terasa bagaikan aliran kegelapan yang siap menelan apapun yang nekat mendekatinya.
Tanpa sadar aku bergidik ngeri.
“Bagaimana sekarang?”
Aku bertanya pada motorku, walaupun aku tahu partnerku itu tidak bisa menjawab pertanyaanku.
“Apa sebaiknya aku kembali ke peron stasiun tadi atau menunggu sampai besok di sini?”
Bagaikan ingin menjawab pertanyaanku, mesin motorku menderum dengan nada tinggi selama beberapa detik, dan itu membuatku tersenyum.
“Jadi sebaiknya aku menunggu di sini ya?” ujarku lagi, meski aku tidak yakin seratus persen kalau itu yang ingin dikatakan motorku barusan. “Baiklah aku akan ...”
Ucapanku terputus karena tiba-tiba saja dari kejauhan aku melihat ada sumber cahaya yang muncul di tengah sungai, kemudian bergerak mendekat ke arahku. Jantungku langsung berdebar kencang karena aku tidak tahu harus mengharapkan apa. Tapi yang jelas, dalam hati aku berdoa agar sumber cahaya itu bukan sesuatu yang berbahaya bagiku.
“Hei! Siapa di sana?!”
Aku berseru pada sumber cahaya di hadapanku, namun tidak ada jawaban, dan itu membuatku semakin ketakutan. Jantungku kembali berdetak kencang. Tanpa sadar aku memasang kuda-kuda, siap untuk berputar balik dan kabur dengan kecepatan maksimal yang bisa dicapai motor tuaku.
Aku hanya berharap kami berdua bisa kabur lebih cepat dari pada apapun yang sedang menuju kemari itu.
Pelan tapi pasti, sumber cahaya misterius di atas sungai di hadapanku melaju semakin dekat, hingga pada akhirnya aku bisa melihat dengan jelas wujudnya. Ternyata sumber cahaya itu berasal dari lentera yang tergantung di tengah sebuah sampan kecil yang dikendalikan oleh sesosok berjubah hitam. Dengan gerakan pelan dan berirama teratur, sosok berjubah itu mengayuh tongkat sampannya dan menggerakkan perahu kecil itu semakin dekat ke pinggiran sungai. Hingga pada akhirnya dia berhenti dan menatap ke arahku.
Aku tidak bisa melihat wajah di balik tudung yang menutupi wajahnya, tapi aku melihat dua butir mata berwarna merah yang bersinar di balik pakaian tebal yang dia kenakan. Meskipun tatapannya itu langsung membuat bulu kudukku berdiri semua, tapi aku tahu makhluk ini tidak berniat jahat.
Kalau ada yang tanya kenapa aku tahu soal itu?
Jujur saja aku tidak bisa menjawab.
Pokoknya aku ‘tahu’ kalau makhluk aneh di hadapanku ini bukan makhluk yang berbahaya dan tidak berniat mencelakakanku.
“Halo?” Aku bertanya pada sosok berjubah di hadapanku, berharap kalau dia bisa bicara. Sayangnya makhluk itu hanya diam dan memandangiku. “Apa kau bisa membantuku menyeberangi sungai ini?”
Tanpa disangka-sangka, makhluk berjubah di atas sampan itu mengangguk. Namun dia lalu mengulurkan sebelah tangannya yang ramping dan bercakar tajam. Kedua matanya yang bersinar kemerahan kembali menatap lurus ke arah mataku penuh isyarat.
Sepertinya dia menginginkan semacam bayaran sebagai ganti bantuan yang akan dia berikan padaku.
Sekali lagi, jangan tanya kenapa aku tahu soal itu. 
Masalahnya sekarang aku tidak membawa apapun yang bisa kugunakan sebagai imbalan bagi bantuan makhluk aneh di hadapanku ini. Aku memang membawa dompetku, tapi aku tidak yakin kalau makhluk ini menerima imbalan berupa uang yang ...
Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Tanpa pikir panjang aku langsung merogoh sakuku, kemudian mengeluarkan sebuah koin perak berlogo VOC yang dulu kudapatkan dari kapten kapal Flying Dutchman. Sejak pertemuanku dengan kapten kapal hantu itu, aku selalu membawa koin perak yang dia berikan itu di dalam dompetku. Bukannya aku menjadikan benda itu sebagai jimat atau semacamnya, hanya saja aku merasa kalau koin ini nantinya akan berguna, entah untuk apa.
Anehnya, aku merasa kalau sekaranglah saatnya aku menggunakan koin ini.
“Bagaimana dengan ini?” Aku menunjukkan koin perak VOC pada makhluk bertudung di hadapanku. “Apa ini cukup?”
Sejenak makhluk itu tampak menimbang-nimbang keputusannya, namun beberapa saat kemudian dia mengangguk dan memberi isyarat bagiku untuk segera memberikan koinku kepadanya. Tanpa banyak tanya, aku turun dari motorku, kemudian memberikan koin itu pada makhluk berjubah di atas sampan. Pandangan matanya tampak menyorotkan kepuasan, kemudian dia pun melangkah minggir dan memperlihatkan sebuah tempat duduk di tengah sampan, tepat di samping lentera kecil yang digantung di atas sebuah tiang kayu.
Selama beberapa saat aku bergantian memandang ke arah sampan dan partner setiaku.
Aku tahu kalau aku tidak mungkin bisa menaikkan motor itu ke atas sampan, dan itu artinya aku harus meninggalkan motorku di sini.
Di tempat-aneh-entah-di-mana ini. 
Berat rasanya, tapi kalau melihat situasiku saat ini, aku tidak punya pilihan lain. Antara aku harus terus terjebak di sini entah sampai kapan, atau aku mungkin bisa kembali ke rumah tapi dengan meninggalkan partnerku di tempat aneh ini. Percayalah, ini bukan pilihan yang mudah. Soalnya aku sama sekali tidak yakin kalau aku akan bisa menemukan motor tuaku lagi kalau aku meninggalkannya di tempat aneh ini.
“Bagaimana ini?” Aku bertanya pada motorku, sambil mengelus lampu depannya. “Aku tidak mau meninggalkanmu di sini, tapi aku juga tidak bisa membawamu melintasi sungai dengan sampan sekecil ini.”
Seolah ingin berkomentar, suara mesin motor tuaku itu menderum pelan dengan nada tinggi selama beberapa saat. Tentu saja sepeda motorku itu tidak bisa bicara, tapi anehnya aku merasa seperti dia ingin mengatakan bahwa ‘aku tidak apa-apa di sini. Pergilah duluan, nanti aku menyusul’.
Untuk ke sekian kalinya, jangan tanya kenapa aku tahu soal itu.
Walaupun terasa berat, tapi sepertinya aku tidak punya pilihan lagi. Aku pun akhirnya berbalik dan naik ke atas sampan, membiarkan motorku tetap dalam keadaan mesin yang masih menyala. Suara derum mesinnya masih memenuhi udara dan mengalahkan suara aliran sungai di sekelilingku.
Tanpa bicara sepatah kata pun –dan tanpa menunggu perintah atau persetujuanku– sang pendayung sampan mulai menggerakkan perahunya menjauhi tepian sungai. Perlahan tapi pasti, perahu kecil yang kunaiki ini pun bergerak meninggalkan tepian sungai. Selama beberapa saat aku masih bisa melihat nyala lampu depan motorku yang semakin lama semakin jauh, hingga akhirnya kabut tipis menelan cahayanya. Suara derum mesinnya juga akhirnya hilang ditelan suara aliran air sungai yang mengalir di sekitarku.
Setelah menghela nafas panjang, aku menoleh ke depan, ke arah tujuan sampan kecil yang kunaiki ini. Sayangnya kabut dan kegelapan yang menyelimuti dunia di sekitarku ini membuatku tidak bisa melihat apapun. Hawa dingin pun mulai membuatku menggigil tidak nyaman, soalnya aku tidak sedang mengenakan jaket motor yang biasanya kupakai bepergian. Selain itu, kesunyian di sekelilingku juga mulai terasa menyeramkan.
“Perahu ini menuju ke mana ya?”
Aku akhirnya memberanikan diri bertanya pada sosok bertudung, yang dengan irama teratur, masih terus mendayung perahunya. Sayangnya sosok misterius itu tetap diam seribu bahasa, namun sorot matanya yang terlihat teduh, membuatku jadi lebih rileks. Seolah-olah dia ingin menenangkanku dan meyakinkan bahwa akhir perjalanan ini bukanlah sesuatu yang buruk atau mengerikan.
Karena tidak ada yang bisa kulakukan lagi, aku akhirnya duduk diam dan mulai bersenandung pelan. Aku tidak tahu kenapa, tapi lagu ini tiba-tiba saja mencuat dari balik kenanganku. Ketika aku menyenandungkan lagu itu, benakku mendadak dipenuhi rasa nostalgia yang kental dan ada perasaan damai yang seolah menyelimuti sekujur tubuhku.
Hangat.
Rasanya hangat dan nyaman.
Rasanya aku ingin sekali memejamkan mata dan membiarkan diriku melebur dalam kabut tipis yang menggantung di sekitarku.
Mudah sekali.
Aku hanya tinggal memejamkan mata, kemudian ...
Kepalaku terasa sakit seperti baru saja dipukul dengan kayu.
“ADUH!”
Aku berteriak karena kesakitan, dan sekaligus karena terkejut. Ternyata si pendayung bertudung yang berdiri di belakangku baru saja menggetok kepalaku dengan tongkat panjangnya. Sebelum aku sempat protes atau bertanya, dia mengangkat telunjuknya yang ramping dan bercakar, kemudian menggoyangkannya di depan wajah.
“Tidak boleh?” tanyaku bingung melihat bahasa isyarat yang dia gunakan. “Apanya?”
Dia lalu menirukan gaya seperti orang tidur.
“Tidak boleh tidur?” tanyaku lagi. “Kenapa?”
Makhluk bertudung dan bermata merah itu mengangkat bahunya.
Aku sebenarnya masih mau bertanya, tapi dia tiba-tiba mengangkat telunjuknya lagi dan memberi isyarat agar aku diam. Tanpa banyak tanya, aku langsung mengurungkan niatku untuk menanyakan pertanyaan lain yang masih berputar dalam benakku. Begitu melihat aku sudah tidak berniat untuk bicara lagi, si pendayung bertudung menunjuk ke depan.
Aku mengikuti arah yang dia tunjuk dan terkejut karena ternyata kami sudah hampir sampai di tepian seberang sungai. Bagaikan disibakkan oleh sesuatu yang lembut namun begitu kuat, kabut tipis yang menyelimuti pandanganku mendadak sirna. Sementara itu, di hadapanku sekarang, berdiri tegak sebuah tangga tinggi yang terbuat dari batu. Tangga itu begitu lebar dan begitu tinggi, sehingga aku tidak bisa melihat ujung-ujungnya.
Oh, bagus sekali ...
Aku menggerutu dalam hati karena membayangkan bagaimana beratnya harus berjalan mendaki tangga setinggi itu, apalagi karena aku tidak tahu entah berapa ratus –atau bahkan berapa ribu– anak tangga yang harus kulalui hingga aku sampai ke puncak ... yang entah di mana lagi aku akan berada.
Selagi aku menggerutu, sampan kecil yang kunaiki ternyata sudah merapat ke pinggiran sungai. Begitu merapat, si pendayung bertudung memberi isyarat agar aku segera turun dari kapalnya. Tanpa perlu bertanya lagi, aku bergegas turun dan memandang ke arah ujung tangga, yang sama sekali tidak terlihat. Kemudian aku menoleh ke belakang dan melihat kalau pendayung bertudung itu masih berdiri sambil menatap ke arahku.
“Terima kasih atas bantuannya,” ujarku sambil tersenyum ke arahnya.
Aku tahu makhluk yang satu ini tidak punya wajah dan mulut, tapi aku berani sumpah kalau kedua mata merahnya baru saja tersenyum.
Iya.
Aku tahu ini terdengar gila.
Tapi itulah yang kurasakan ketika melihat kedua mata mungil di kepala makhluk bertudung di atas sampan itu.
Setelah menunduk memberi hormat, seperti orang Jepang, si pendayung misterius itu pun kembali mendayung perahunya menjauhi tepian sungai. Tidak lama kemudian sosoknya hilang di telan kabut tipis yang sepertinya masih menggantung tidak jauh dari pinggiran sungai tempatku berdiri sekarang.
Begitu pendayung dan sampannya menghilang, aku berbalik menghadap tangga tinggi tanpa ujung di depanku.
Pertama, stasiun kereta di tengah hutan. Kedua, kereta yang dipenuhi makhluk-makhluk bayangan. Ketiga, padang rumput tanpa batas dan partner setiaku yang-entah-kenapa-ada-disana. Keempat, sungai lebar berkabut dan pendayung misterius. Lalu sekarang ... ada tangga ini yang kelihatannya tanpa ujung ...
Apa tidak ada yang lebih aneh lagi setelah ini?
Setelah menarik nafas panjang, aku mulai melangkah maju.
Meskipun aku masih tidak mengerti apa arti semua ini, tapi sepertinya satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari semua kejadian aneh dan tidak masuk akal ini adalah dengan terus melangkah maju.
Dan itulah yang kulakukan sekarang.
Langkah demi langkah, aku terus mendaki satu persatu anak tangga di hadapanku. Awalnya memang berat, tapi aku tidak tahu kenapa, semakin lama langkahku jadi terasa semakin ringan. Hingga pada akhirnya, aku seolah-olah merasa kalau tubuhku jadi seringan bulu, dan  sebelum aku benar-benar sadar, tahu-tahu aku sudah berlari menaiki tangga tanpa ujung ini. Awalnya pelan, namun lama-kelamaan aku jadi berlari begitu cepat, hingga pada akhirnya aku merasa seolah-olah aku sedang terbang, bukan sedang berlari.
Angin, butir-butir cahaya, dan anak tangga yang tidak terhitung jumlahnya seolah melesat melewatiku begitu saja ketika aku berlari menaiki tangga ini.
Ah.
Rasanya begitu hidup.
Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan perasaan semacam ini.
Rasanya sudah begitu lama.
Ah.
Aku ingat.
Waktu itu ...

****

Ketika aku membuka mataku lagi, tahu-tahu aku sudah berada di ruangan serba putih. Di sekelilingku terlihat sosok-sosok asing yang mengenakan pakaian sederhana berwarna hijau dan putih. Anehnya, mataku seperti menolak untuk fokus dan aku hanya bisa melihat bayangan-bayangan kabur sosok mereka yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu.
“Maaf ... ini dimana ya?”
Tanpa pikir panjang, aku langsung bertanya pada siapa pun, atau apa pun, yang sedang mengelilingiku itu.
Dan reaksi mereka sama sekali di luar dugaanku.
“Dokter! Pasiennya! Dia kembali!”
“Ini keajaiban! Suster, mana infus yang tadi? Pasang lagi. Kesempatan ini tidak boleh di sia-sia kan!”
Sementara orang-orang di sekitarku, yang sepertinya adalah petugas paramedis, sibuk bergerak kesana-kemari, aku hanya bisa terbaring bingung. Tidak lama kemudian, salah satu sosok kabur itu terlihat mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sayang mataku masih belum mau fokus, sehingga aku tidak bisa melihat siapa orang ini.
“Tenang saja, kau akan baik-baik saja,” ujar sosok kabur itu. “Sekarang, kau sebaiknya beristirahat dulu.”
Seiring dengan ucapannya, aku merasakan sengatan rasa sakit di pangkal lenganku, diiringi dengan sensasi aneh seolah-olah dunia di sekelilingku berputar makin kencang. Dan tentu saja ...  tidak lama setelah itu kesadaranku pun kembali hilang.

****

Ketika aku akhirnya benar-benar sadar lagi, ternyata aku sedang berbaring di ruang rawat inap sebuah rumah sakit besar di pusat kota Jakarta. Saat sadar, kebetulan ada seorang perawat yang sedang mengganti infusku, jadi aku bisa bertanya soal kenapa aku sampai bisa ada di rumah sakit seperti ini.
Dan tentu saja, jawabannya mengejutkan.
Menurut perawat itu, aku terlibat dalam kecelakaan maut antara mobil Ferari kuning, sebuah truk tanah, sebuah bis kota, dan beberapa lusin sepeda motor. Konon katanya, pengemudi mobil ferari kuning itu melaju terlalu kencang dan tiba-tiba saja menyalip sebuah truk tanah, yang kebetulan juga tengah melaju kencang. Karena terkejut, supir truk tanah banting setir dan menabrak sebuah bis kota, membuat bis itu oleng, kemudian menghantam belasan pengemudi sepeda motor yang berada tidak jauh di depan. Kecelakaan beruntun itu tentu saja menyebabkan cukup banyak korban luka parah, dan bahkan, ada beberapa orang yang sangat tidak beruntung dan tewas di tempat.
Perawat yang memeriksaku itu lalu menyodorkan lembaran koran yang memuat headline terkait kecelakaan beruntun yang kualami itu. Ketika melihat dari foto-foto di lembaran koran itu, tanpa bisa ditahan lagi, aku langsung merinding ketakutan. Empat belas orang luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit, dan tiga orang meninggal dunia di tempat.
Tadinya kupikir aku termasuk orang yang cukup beruntung karena masih hidup setelah mengalami kecelakaan maut itu.
Tapi ternyata aku salah.
Menurut perawat yang merawatku ini, katanya aku baru saja mati suri.
Ya. Benar sekali. Bisa dibilang selama 5 menit lebih, jantungku sudah benar-benar berhenti berdetak. Tidak peduli sekuat apa pun usaha yang dilakukan tim medis, mereka tidak berhasil menyelamatkan nyawaku. Dokter yang memeriksaku sudah hampir mencatat waktu kematianku, ketika aku tiba-tiba saja membuka mata dan bahkan menanyakan sesuatu padanya.
Walaupun ingatanku soal kejadian itu agak samar, mungkin karena efek obat, atau efek karena baru saja bangkit dari kematian, aku yakin para dokter waktu itu pasti terkejut bukan main. Pasien yang baru saja mereka nyatakan meninggal, tahu-tahu hidup lagi.
Kalau ada yang bertanya apakah aku sekarang ini sejenis zombi atau makhluk setengah-mati-setengah-hidup lainnya .... sayang sekali karena jawabanku pasti akan membuat mereka kecewa ... aku masih manusia.
Setidaknya itu kata dokter. Hasil berbagai tes yang kujalani setelah kejadian mati suri itu menyatakan kalau aku masih 100 persen manusia tulen. Tidak ada yang benar-benar berubah, kecuali fakta kalau sekarang ada beberapa pin dan pelat logam yang tertanam di kaki, tangan, dan batok kepalaku gara-gara kecelakaan itu.
“Sayang sekali, kupikir tadinya kamu bakal jadi zombi, atau vampir, atau mendadak punya kekuatan super.”
Irvan berkomentar dengan santainya, sembari memakan sebutir apel, yang seharusnya jadi bagian dari makan siangku. Dia kebetulan datang menjenguk setelah orangtuaku memutuskan untuk pergi makan siang di kantin rumah sakit. Sudah beberapa kali temanku itu datang berkunjung, dan setiap kali dia datang, selalu saja topik ini muncul.
“Sudah kubilang kan, aku ini masih seratus persen manusia, dan apel itu makan siangku,” balasku sambil menggerutu. “Bagaimana Nos dan ikanku?”
Irvan mengangkat pundaknya.
“Nos sehat seperti biasa. Ikanmu juga,” ujarnya santai. “Tidak perlu khawatir, mereka ada di tangan yang tepat.”
Selama aku dirawat di rumah sakit, aku memang sengaja menitipkan kucing dan ikan peliharaanku pada Irvan. Walaupun temanku yang satu ini kelihatannya bukan tipe penyayang binatang, tapi aku tahu Irvan tidak akan begitu saja mengabaikan dua peliharaanku itu.
“Dasar aneh, tidak usah menghawatirkan peliharanmu dulu, lihat dulu dirimu,” ujar Irvan lagi sambil menunjuk ke arahku, dengan tangan yang masih menggenggam apel milikku. “Masih berapa lama lagi kamu bakal di rumah sakit?”
“Kata dokter kira-kira seminggu lagi aku bisa pulang,” jawabku.
“Oh,” sahut Irvan singkat.
Selama beberapa saat, kami berdua terdiam. Kemudian Irvan kembali bertanya lagi padaku.
“Jadi, soal mati suri-mu waktu itu,” ujarnya sambil memperbaiki posisi duduknya. “Kok rasanya kamu baru saja bertemu dengan tukang perahu yang bertugas menyebrangkan orang mati melewati Sungai Styx ya?”
“Sungai ... apa?” tanyaku kaget.
Styx,” sahut Irvan sambil menggigit apelnya. “Legenda orang Yunani bilang itu sungai yang harus disebrangi jiwa-jiwa orang mati menuju alam berikutnya. Konon katanya kamu harus bayar upah pada si tukang perahu biar jiwamu bisa disebrangkan ke alam arwah, kalau enggak, kamu bakalan jadi arwah penasaran di dunia. Tapi untuk kasus yang ini, si tukang perahu itu kamu bayar buat mengantar arwahmu balik ke dunia.”
Irvan berhenti sejenak, kemudian kembali bicara.
“Yah, biar bagaimana pun, kamu ini benar-benar orang yang beruntung sekali,” ujarnya “Waktu aku lihat wujudmu pas sedang parah-parahnya, aku hampir 100% yakin kalau kamu tidak mungkin selamat. Tapi lihat sekarang! Bahkan dokter juga bingung dengan kemampuan tubuhmu untuk pulih. Luka-luka seperti itu harusnya bikin orang cacat permanen!”
Aku mengangkat bahu sambil menghela nafas panjang. Ucapan Irvan memang benar. Aku sungguh orang yang sangat beruntung, terutama kalau mengingat parahnya kecelakaan yang kualami. Walaupun aku mengalami luka-luka parah, tapi aku benar-benar bersyukur karena nyawaku tidak jadi melayang dalam kejadian mengerikan itu.
Dan untuk saat ini …
Itu saja sudah cukup bagiku …
****

End of 11th Spiral
Move on to the next story

Comments